Sementara para pria membawa mobil tua dan berkeliling ke seluruh negeri dengan membawa sambal, acar, kerupuk udang, dendeng, dan ikan asin.
Bagi mereka yang punya uang akan membuka restoran.
“Di Amsterdam, jumlah restoran China-Indonesia meningkat dari dua pada 1945 menjadi 44 restoran di 1960. Di periode yang sama, restoran Indonesia meningkat dari 0 jadi enam restoran,” terang Prima.
Salah satu pemicunya menurut Van Otterloo, seorang sosiolog dan sejarawan makanan, adalah karena orang Belanda punya kebiasaan makan yang membosankan.
Ibu rumah tangga Belanda disebut hanya punya sedikit imajinasi kuliner dan lebih memilih bersih-bersih daripada masak. Di awal abad ke-20, rata-rata orang Belanda memakan 130 kilogram kentang setiap tahunnya.
Biasanya kentang tersebut dimasak jadi rebusan sejenis sayur. Makanan sehari-hari orang Belanda kala itu adalah kentang, sayuran rebus, dan kuah kaldu.
Terkadang ditemani dengan daging dan bumbu yang sedikit serta monoton.
“Di sisi lain, imigran Indonesia yang baru datang ke Belanda adalah koki yang lebih baik walaupun mereka miskin. Orang-orang Indonesia ini rutin makan beragam jenis makanan dengan banyak rempah dan bumbu,” sebut Prima.
Diaspora Indonesia ini kemudian secara tidak langsung mempromosikan budaya makan ala Indonesia lengkap dengan kulinernya pada warga di negara tersebut.
Beberapa di antara mereka bahkan membuat restoran Indonesia.
Restoran tersebut semakin memperkenalkan kuliner Indonesia pada warga internasional.
• Pecahkan Rekor, Emirates Berencana Mengoperasikan Penerbangan Terpanjang di Dunia Tahun Depan
• Semakin Mudah, Urus Paspor Kini Bisa Dilakukan di Rumah dengan Layanan Eazy Passport
• 7 Makanan yang Bisa Membantu Tidur Lebih Cepat, Ada Madu hingga Pizza
• Festival Kampung Tematik Bakal Digelar di Kota Malang Oktober 2020 Mendatang
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kuliner Indonesia Menyebar di Dunia, Bagaimana Peran Diaspora Indonesia?"