Akses berita terupdate se-indonesia lewat aplikasi TRIBUNnews

Mata Lokal UMKM

Mbah Dasno, Penjaga Terakhir Dawet Dibal di Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI - Es dawet.

"Saya sekarang mangkal di sini saja, di dekat makam. Badan sudah nggak kuat keliling,” ucapnya pelan.

Sekilas, Dawet Dibal tampak sama dengan dawet pada umumnya. 

Namun Mbah Dasno menjelaskan, perbedaannya terletak pada racikan santan dan gula merah yang digunakan. 

“Yang membedakan itu di santan sama gula merah, juga warnanya. Kalau dawet Dibal itu tidak terlalu hijau pekat, warnanya lebih lembut,” jelasnya sambil mengaduk santan kental.

Selain itu, cendol dibuat sendiri dari tepung beras dengan pewarna alami. 

Santan diolah dari kelapa segar, dan gula merah direbus perlahan hingga menghasilkan rasa manis legit khas pedesaan. 

"Saya tidak pernah ganti cara. Sejak dulu ya seperti ini. Kalau berubah nanti rasanya bukan Dawet Dibal lagi,” tegasnya.

Harga yang dipatok juga sangat terjangkau, hanya Rp 3.000 per mangkuk.

"Nggak tega kalau mahal, wong kebanyakan pembelinya orang kampung,” katanya sambil tersenyum.

Usia Mbah Darso memang sudah tidak muda lagi. 

Namun ada hal yang penting yang ingin dilakukan Mbah Darso ketimbang hanya duduk di rumah. 

"Saya cuma pengin njaga, jangan sampai Dawet Dibal hilang.” 

Baca juga: 7 Sajian Es yang Menyegarkan untuk Menu Takjil Buka Puasa, Ada Es Timun Suri hingga Es Dawet

Baginya, minuman ini bukan sekadar sumber penghasilan, tetapi warisan budaya yang harus dijaga.

Apalagi saat ini, banyak sekali  minuman kekinian seperti boba, thai tea, dan es kopi susu menjamur. 

Setiap hari ia mulai berjualan pukul 09.00 WIB dan berhenti ketika dagangan habis. 

Biasanya menjelang siang, semua sudah ludes. 

"Alhamdulillah, walau tidak banyak, tapi selalu ada rezeki,” imbuhnya.

(Cynthia/TribunTravel) (TribunSolo)