Kuil Hachiman pada abad ke-12, diperintah oleh Yuya-danjo Motonobu dan enam paroki lainnya.
Di saat yang bersamaan orang-orang menderita setiap tahun karena terendamnya sungai Yamakuni.
Untuk mencegah terjadinya banjir, tujuh paroki berdoa di kuil Hachiman siang dan malam selama seminggu penuh.
Ketika itu tidak berhasil, mereka memutuskan bahwa pengorbanan manusia harus dilakukan.
Tetapi mereka tidak dapat menemukan satu orang pun yang bersedia mempertaruhkan nyawanya.
Kemudian Yuya-danjo mengusulkan kepada enam rekannya untuk melepas celana mereka dan membuangnya ke sungai.
Orang yang celananya tenggelam harus mempersembahkan hidupnya kepada dewa.
Yang lain setuju dan masing-masing melemparkan celana mereka ke dalam air.
Sayang! celana Yuya-danjo tenggelam dan nyawanya hilang.
Satu pengikut setia Yuya-danjo memiliki seorang putri bernama Tsuru, yang, ketika dia mendengar tentang nasib tuannya, memohon untuk diizinkan memberikan hidupnya bersama dengan putranya Ichitaro, atas nama tuan mereka.
Karena ditolak, masing-masing dari mereka secara terpisah menawarkan hidup mereka kepada dewa.
Setelah pengorbanan, tepi sungai berhenti meluap dan tidak ada genangan yang dialami sampai zaman modern.
Tradisi Hitobashira hampir selalu dipraktikkan bersamaan dengan pembangunan proyek yang kompleks, berbahaya, dan sering kali berhubungan dengan air, seperti jembatan.
The Yasutomi-ki , buku harian dari abad ke-15 meenuliskan tentang dokumen tradisi terkenal “Nagara-no Hitobashira”.
Menurut tradisi, seorang wanita yang sedang menggendong seorang anak laki-laki di punggungnya ditangkap ketika dia sedang melewati sungai Nagara dan dikuburkan di tempat di mana sebuah jembatan besar akan dibangun.
Jembatan Matsue Ohashi menurut legenda juga menggunakan pengorbanan manusia dalam pembangunannya.
Ketika Horio Yoshiharu, jenderal besar yang menjadi daimyo Izumo di era Keich, pertama kali memasang jembatan di atas muara sungai ini, para pembangun bekerja dengan sia-sia, karena tampaknya tidak ada dasar yang kokoh untuk pilar-pilar jembatan.
Meski akhirnya jembatan itu dibangun, tetapi pilar-pilarnya mulai tenggelam segera setelah selesai.
Kemudian banjir membawa setengahnya.
Jembatan yang sering diperbaiki seringkali juga rusak.
Kemudian pengorbanan manusia dilakukan untuk menenangkan roh-roh air bah yang jengkel.
Seorang pria dikubur hidup-hidup di dasar sungai di bawah tempat pilar tengah, di mana arusnya paling berbahaya, dan setelah itu jembatan tetap tidak bergerak selama tiga ratus tahun.
Legenda itu sangat diyakini, sehingga ketika jembatan baru dibangun menjelang akhir abad ke-19, ribuan orang desa takut untuk datang ke kota, karena desas-desus diperlukan korban baru, yang akan dipilih diantara mereka.
Tradisi Hitobashira juga disebutkan sehubungan dengan penyeberangan laut.
Catatan tertua di Nihon Shoki, menceritakan tentang Kaisar Jimmu, pendiri Kekaisaran Jepang, yang sedang menyeberangi laut dalam ekspedisinya ke timur, ketika topan pecah dan perahunya segera terombang-ambing di atas ombak.
Kemudian Ina-ihi-no-mikoto mengorbankan tubuhnya sendiri untuk dewa laut, sehingga kaisar bisa melanjutkan perjalanan.
Tradisi pengorbanan manusia juga berkaitan dengan pembangunan kastil-kastil besar.
Kastil Maruoka adalah satu kastil tertua yang masih ada di Jepang yang dikabarkan dibangun dengan hitobashira.
Ketika Shibata Katsutoyo, keponakan Shibata Katsuie, sedang membangun kastil di Maruoka, dinding batu kastil terus runtuh tidak peduli berapa kali dibangun.
Ada satu pengikut yang menyarankan agar mereka menjadikan seseorang sebagai hitobashira.
O-shizu, seorang wanita bermata satu yang memiliki dua anak dan hidup miskin, terpilih sebagai Hitobashira.
O-shizu menuntut agar satu anaknya dijadikan samurai sebagai pembayaran atas pengorbanannya.
O-shizu dikuburkan di bawah pilar utama benteng, dan setelah itu pembangunan benteng berhasil diselesaikan.
Tetapi Katsutoyo dipindahkan ke provinsi lain dan putra O-shizu tidak jadi diangkat menjadi samurai.
Roh O-shizu kesal dan membuat parit meluap dengan hujan musim semi yang merusak stabilitas dinding kastil.
Orang-orang menyebutnya, “hujan yang disebabkan oleh air mata kesedihan O-shizu” dan mendirikan sebuah makam kecil untuk menenangkan jiwanya.
Kisah-kisah pengorbanan manusia ini muncul paling banyak disusun pada periode Tokugawa, yaitu selama tiga abad terakhir.
Mereka menjadi semakin langka seiring dengan semakin matangnya masyarakat.
Sekarang banyak masyarakat Jepang melakukan pengorbanan tiruan dan upacara rumit di kuil, seperti di kuil Sakato-no di Sakato-ichiba di provinsi Kazusa, dan kuil Juzo di Wajima-cho di provinsi Noto.
Ambar /TribunTravel