Perbedaan tradisi piring terbang dan prasmanan juga terlihat dengan kebiasaan hadirnya para tamu undangan.
Ketika prasmanan, biasanya tamu datang setelah acara dibuka.
Sedangkan pada tradisi piring terbang, tamu justru datang sebelum acara dimulai.
Menurut Nuky, pada zaman dahulu ketika tamu datang terlambat maka dia sama saja 'sial' karena melewatkan momen hidangan tertentu dalam piring terbang.
"Tapi zaman sekarang pun jika tamu datang terakhir pun langsung dicarikan, karena pekewuh sudah nyumbang. Kalau zaman dahulu nggak. Jadi kalau datangnya pas sop ya berarti snack dan unjukane nggak dapat," ungkapnya.
Nuky setuju apabila tradisi piring terbang dianggap lebih bergengsi dibanding dengan menjamu cara prasmanan.
Ada prestise yang dijaga di sana, yakni melayani tamu bak raja.
"Saya sendiri sebagai orang Jawa lebih sreg ya apike jangan njupuk dewe-dewe, karena kita sudah nyumbang dan sudah jadi tamu, masak ambil lauk dan nasi sendiri. Tamu kan harusnya dilayani," jelas Nuky.
Co-founder Obong Management, salah satu wedding organizer di Solo, Okky Rahadyan, membenarkan mayoritas pernikahan di Kota Bengawan pilih pakai piring terbang.
"Kalau di Solo, saya bicaranya Solo ya, tradisi ladosan atau piring terbang itu masih mendominasi. Perbandingannya 70 persen (piring terbang), 30 persen (prasmanan)," kata Okky.
Bukan Lebih Murah
Namun masih terus digunakannya tradisi ini ternyata bukan perkara banderol piring terbang yang lebih mahal daripada prasmanan.
Alasan para calon mempelai lebih kepada tradisi turun temurun yang terus berusaha dijaga.
Terkadang, calon mempelai kesulitan pula untuk meyakinkan keluarga besar untuk tak menggunakan tradisi ini.
"Katakanlah calon mempelai mempunyai saudara atau kakek nenek yang menggunakan tradisi itu dan mereka mau break the culture itu kayak susah. Jadi memang mostly ini adalah adat yang turun temurun," jelas Okky.
Baca tanpa iklan