TRIBUNTRAVEL.COM - Istilah piring terbang tentu sudah tidak asing lagi bagi warga Kota Solo, Jawa Tengah.
Bukan piring terbang alien atau UFO, tapi istilah ini merupakan cara menyajikan konsumsi dalam acara pernikahan di Solo.
Beda dengan tradisi pernikahan di kota lain seperti Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta, cara prasmanan kerap dipandang lebih bergengsi, karena makanan yang disediakan lebih beragam.
Umumnya, tamu bisa mengambil makanan utama lebih dari satu kali.
Tapi di Kota Solo, tradisi menjamu tamu pernikahan lebih populer memakai sistem piring terbang.
Di acara pernikahan berkonsep piring terbang, tamu cukup duduk manis di kursi yang telah disediakan.
Pramusaji akan memberikan piring demi piring makanan ke tamu, hingga muncullah sebutan 'piring terbang'.
Lalu, bagaimana sejarah piring terbang ini berasal?
Pemerhati sejarah dari Solo, KRMT L Nuky Mahendranata Nagoro mengungkap tradisi piring terbang mulai dikenal masyarakat medio 1980-an.
Baca juga: Diduga Bakar Hutan Demi Konten Joget TikTok, Seorang Influencer Banjir Kecaman
Baca juga: Gali Lubang Pasir saat Main di Pantai, Seorang Remaja Tewas Tertimbun
Tatkala itu, biro-biro katering atau jasa hidangan tengah berkembang pesat.
Usut punya usut, piring terbang memiliki maksud supaya tamu diperlakukan atau dilayani seperti seorang raja.
"Di Mataram dulu dikenal sebagai upaya untuk menghormati tamu supaya tidak berdiri. Jadi tamu-tamu tinggal duduk, nanti hidangan diantarkan. Jadi tamu diperlakukan seperti seorang raja," kata Nuky, kepada TribunSolo.com, Jumat (20/5/2022).
Pada era Mataram, dikatakan Nuky, tradisi piring terbang justru berkembang dari daerah pesisir.
Pesisir disini bukan pelabuhan atau pantai, namun lebih kepada artian di luar nagari (pusat kota alias pedesaan).
"Memang di ibukota nagari sendiri tidak berkembang. Jadi malah berkembang di daerah desa seperti Wonosari, Klaten, Wonogiri," katanya.
Baca tanpa iklan