Akses berita terupdate se-indonesia lewat aplikasi TRIBUNnews

Cerita Tradisi Kuping Panjang Suku Dayak yang Kini Tak Dilanjutkan Generasi Baru

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tipung Ping (baju motif bunga merah) dan Kristina Yeq Lawing (baju biru) perempuan Dayak dengan cuping telinga panjang

TRIBUNTRAVEL.COM - Tradisi khas suku dayak ini banyak dikenal oleh masyarakat, karena keunikannya yang mencuri perhatian.

Namun, kini sudah tak ada lagi generasi baru yang meneruskannya

Melansir Kompas.com (10/2), Tipung Ping (69) dan Kristina Yeq Lawing (71) adalah generasi terakhir perempuan dayak di Kampung Long Isun, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur yang masih mempertahankan tradisi kuping panjang.

Tipung dan Kristina adalah generasi angkatan tahun 1950-an.

Setelah mereka, tidak ada lagi perempuan di kampungnya yang melakukan tradisi kuping panjang.

Perempuan dayak sendiri meyakini bahwa cuping telinga panjang adalah simbol kecantikan.

Semakin panjang kuping seorang perempuan dayak, maka ia akan semakin cantik.

5 Tradisi Unik Ulang Tahun Keluarga Kerajaan Inggris, Ada Perayaan Meriah Khusus Pewaris Tahta

Tradisi itu kini tak dilanjutkan oleh generasi baru atau anak cucu Tipung dan Kristina.

Menurut Data Yayasan Telinga Panjang, kini hanya tersisa tak lebih dari 100 perempuan Dayak yang memiliki cuping telinga panjang.

Sebanyak 60 persen perempuan kuping panjang ada di Kabupaten Mahakam Ulu termasuk dua perempuan Dayak Bahau, nenek Tipung dan Kristina.

Tipung Ping (baju motif bunga merah) dan Kristina Yeq Lawing (baju biru) perempuan Dayak dengan cuping telinga panjang (KOMPAS.com/ZAKARIAS DEMON DATON))

"Sekarang tidak ada lagi. Hanya kami dua saja yang punya," kata Tipung Ping saat ditemui Kompas.com di Samarinda, Rabu (5/2/2020).

Bagi dua perempuan Dayak ini, tradisi yang masih mereka anut memiliki makna khusus.

"Supaya lebih cantik. Zaman dulu semakin panjang cuping telinga, semakin cantik," sebut keduanya.

Alasan Anak-cucu Menolak Ikuti Tradisi Kuping Panjang

Kristina bercerita tradisi tersebut ditinggalkan oleh perempuan Dayak, salah satunya karena kampanye kesehatan di kecamatan dan kelurahan setempat.

Halaman
123