TRIBUNTRAVEL.COM - Berada di sebuah sudut tenang Kota Yogyakarta, tepatnya di Klitren Lor GK 3 No 515, Gondokusuman, Jogja, Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat sebuah usaha batik yang tampil berbeda.
Namanya Daradjati Batik, digawangi oleh Trisno Prasetio, seorang seniman yang menjadikan batik sebagai media ekspresi sekaligus jalan untuk melestarikan budaya.
Berbeda dari batik kontemporer pada umumnya, Trisno memiliki ciri khas tersendiri.
Baca juga: Pusat Grosir Solo, Wisata Belanja di Pasar Kliwon, Solo, Jateng yang Tawarkan Ribuan Produk Batik
Baca juga: Museum Batik Yogyakarta, Surga Ribuan Koleksi Batik Klasik hingga Modern
“Mungkin hampir sama dengan kebanyakan motif batik kontemporer lainnya, tetapi saya menggunakan warna gelap atau hitam, dan pasti ada motif kawung-nya,” ujar Trisno saat diwawancarai.
Warna hitam bukan tanpa alasan baginya, warna gelap memberi kesan tegas, kuat, sekaligus elegan.
Motif kawung dipilih Trisno menjadi elemen wajib dalam setiap karya batiknya.
Bukan sekadar pola, bagi Trisno motif ini menyimpan makna mendalam.
Baca juga: Fakta Unik Motif Batik Slobog, Kain Batik yang Dikenakan Cucu Bung Hatta saat HUT ke-80 RI
Baca juga: Cantiknya Fashion Batik Khas Solo, Dibuat Handmade dengan Kain & Motif yang Eksklusif
“Kawung itu filosofinya tentang kebaikan, kesucian, dan keseimbangan. Jadi saya ingin nilai-nilai itu selalu hadir di setiap kain yang saya buat,” jelasnya.
Berangkat dari latar belakang sebagai orang seni, Trisno mengaku batik yang ia ciptakan lahir dari kebiasaan mencoret kain.
“Saya suka corat-coret di kain, dan dari situ terciptalah batik abstrak. Buat saya, itu bentuk kebebasan dalam berkarya,” ujarnya.
Namun perjalanan sebagai perajin batik tentu tidak selalu mulus.
Tantangan terbesar datang dari batik printing, yang semakin marak dan diproduksi massal.
“Tantangannya itu, ya, bersaing dengan batik printing," ungkap Trisno.
Batik printing memiliki pasar yang lebih luas dan laku di pasaran karena selain harganya murah, proses produksinya juga cukup cepat.
Untuk menyiasatinya, ia berusaha mengubah bentuk dan warna batik agar lebih fleksibel sehingga bisa dipakai oleh anak muda maupun orang tua.
Dari sisi pemasaran, Daradjati Batik sudah mulai merambah ke digital.
“Saya sudah coba masuk ke marketplace, seperti Shopee,” katanya.
Kehadiran di platform online membantunya menjangkau pasar lebih luas.
Dalam lancarnya usaha Trisno ini, ia mengaku banyak dukungan dari lingkungan dan pemerintah juga dirasakan sangat membantu.
“Saya jadi punya banyak teman dan sering ikut pameran yang difasilitasi pemerintah,” tambahnya.
Saat ditanya soal harapan untuk generasi muda, Trisno berpesan agar jangan gengsi untuk masuk dunia batik.
“Generasi muda harus terus berinovasi dan jangan gengsian. Kalau suka, lakukan saja, jangan malu untuk mulai,” ujar Trisno.
Menurutnya, dunia batik bukan hanya milik orang tua atau kerajinan konvensional.
Ada ruang besar untuk kreativitas, gaya baru, dan pendekatan modern selama tetap menghormati nilai-nilai budaya.
Melalui Daradjati Batik, Trisno membuktikan bahwa batik bukan sekadar warisan budaya, tapi juga kanvas ekspresi personal.
Dengan motif kawung yang sarat makna, warna gelap yang khas, dan semangat untuk terus berkarya, Trisno membawa batik ke dalam ruang yang lebih luas dan inklusif.
(Cynthia/TribunTravel)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.