Breaking News:

Kompak Pura-pura Mati, Cara Unik Koloni Semut Ini Mengecoh Pemangsa Kejutkan Para Ilmuwan

Koloni semut Polyrhachis femorata memiliki cara unik untuk menghindari pemangsa yakni dengan semuanya berpura-pura mati.

Flickr/ David Lofink
Ilustrasi semut. Koloni semut Polyrhachis femorata memiliki cara unik untuk menghindari pemangsa yakni dengan semuanya berpura-pura mati. 

TRIBUNTRAVEL.COM - Koloni semut Polyrhachis femorata memiliki cara unik untuk menghindari pemangsa.

Hal tersebut diungkap oleh para peneliti yang mempelajari berbagai spesies hewan di Pulau Kanguru Australia.

Ilustrasi semut. Koloni semut Polyrhachis femorata memiliki cara unik untuk menghindari pemangsa yakni dengan semuanya berpura-pura mati.
Ilustrasi semut. Koloni semut Polyrhachis femorata memiliki cara unik untuk menghindari pemangsa yakni dengan semuanya berpura-pura mati. (FRANCO PATRIZIA /Pixabay)

Mereka meyakini koloni semut Polyrhachis femorata berpura-pura mati sebagai tindakan pertahanan diri.

Setidaknya itulah yang dilakukan koloni semut Polyrhachis femorata hingga salah satu anggotanya bergerak sedikit dan kembali "hidup".

Baca juga: Geger Ilmuwan Bongkar Tanggal Dunia Akan Berakhir, Inilah 3 Penyebabnya

Berpura-pura mati, juga dikenal sebagai thanatosis atau imobilitas tonik, adalah mekanisme pertahanan yang terdokumentasi dengan baik dan diamati pada lusinan spesies hewan.

Mulai dari serangga dan kadal hingga burung dan mamalia, mengutip laman Oddity Central, Senin (20/5/2025).

Beberapa dari aktor alam ini lebih baik dalam berpura-pura mati dibandingkan yang lain.

Namun kesamaan yang mereka miliki adalah menerapkan strategi pertahanan khusus ini secara individual.

Dalam peristiwa yang dianggap sebagai yang pertama di dunia, tim peneliti menemukan koloni yang terdiri dari lusinan semut.

Baca juga: Ilmuwan Bongkar Cara Terbaik Mendeteksi Seseorang yang Sedang Berbohong

Menariknya, semua semut berpura-pura mati pada saat yang sama ketika terancam.

2 dari 4 halaman

Mereka semua memainkan peran dengan sangat baik, memutar tubuh mereka dalam posisi yang tidak wajar dan tetap diam, sehingga tim peneliti yakin mereka semua sudah mati.

"Mimikrinya sempurna. Saat kami membuka kotak itu, kami melihat semua semut mati dan kemudian ada satu yang bergerak sedikit," kata Assoc Professor S. 'Topa' Petit.

a
Ilustrasi semut. Koloni semut Polyrhachis femorata memiliki cara unik untuk menghindari pemangsa yakni dengan semuanya berpura-pura mati. (Flickr/John Lodder)

"Imobilitas defensif semacam ini hanya diketahui terjadi pada beberapa spesies semut baik secara individu atau kasta tertentu namun kita tidak mengetahui contoh lain yang teramati pada seluruh koloni," imbuhnya.

Para peneliti sedang memeriksa kotak sarang pygmy-possum dan kelelawar di Pulau Kanguru ketika mereka menemukan satu kotak yang penuh dengan sesuatu yang tampak seperti sekelompok semut mati.

Ternyata itu adalah pertunjukan akting yang baik, yang dibuat ulang beberapa kali di laboratorium, semoga dapat mempelajari lebih lanjut tentang strategi tersebut.

Baca juga: Geger Ilmuwan China Ciptakan Anak AI Pertama di Dunia, Kemampuannya Luar Biasa

Namun hal ini tidak selalu berjalan sesempurna untuk pertama kali, dan tim mengakui bahwa mencari tahu sinyal untuk berpura-pura mati akan sulit.

"Dalam beberapa kotak yang berisi koloni Polyrhachis femorata , beberapa individu membutuhkan waktu beberapa saat untuk berhenti bergerak, dan yang lainnya tidak berhenti. Pemicu perilaku tersebut sulit untuk dipahami," tambah Prof. Petit.

a
Ilustrasi semut. Koloni semut Polyrhachis femorata memiliki cara unik untuk menghindari pemangsa yakni dengan semuanya berpura-pura mati. (Flickr/Matt MacGillivray)

Para ilmuwan menduga bahwa strategi pura-pura mati di seluruh koloni adalah mekanisme pertahanan diri.
Menunjukkan bahwa strategi ini mungkin lebih efektif pada koloni semut yang lebih kecil, karena kemungkinan besar semua individu akan tetap tidak bergerak pada satu waktu.

Satu "aktor jahat" dapat menimbulkan bencana bagi seluruh koloni.

Baca juga: Ilmuwan Klaim Temukan Kebenaran dari Hilangnya Pesawat dan Kapal di Segitiga Bermuda, Ulah Alien?

Ilmuwan Terkejut Orangutan di Indonesia Bisa Obati Luka dengan Tanaman Berkhasiat, Begini Kisahnya

3 dari 4 halaman

Para peneliti yang mempelajari orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser Indonesia baru-baru ini mengamati perilaku luar biasa pada orangutan bernama Rakus.

Rakus, yang terluka saat diduga berkelahi dengan orangutan lain, memilih tanaman yang dikenal karena khasiat obatnya yang manjur.

Ia kemudian mengoleskan tanaman itu pada luka terbuka di wajahnya.

Melansir allthatsinteresting.com, aksi Rakus belum pernah terlihat sebelumnya pada primata non-human.

Alhasil perilakunya telah menimbulkan pertanyaan baru mengenai kecerdasan orangutan dan evolusi perawatan luka pada manusia.

Ilustrasi orangutan. Para peneliti yang mempelajari orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser Indonesia baru-baru ini mengamati perilaku luar biasa pada orangutan bernama Rakus.
Ilustrasi orangutan. Para peneliti yang mempelajari orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser Indonesia baru-baru ini mengamati perilaku luar biasa pada orangutan bernama Rakus. (Flickr/Adrian Greig)

Pada tahun 2022, Ulil Azhari, rekan penulis studi dan peneliti lapangan di Proyek Suaq di Medan, Indonesia, sedang mengamati orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser ketika dia menyaksikan sesuatu yang luar biasa.

Orangutan jantan dewasa bernama Rakus mengalami luka di wajah yang diduga dideritanya saat berkelahi dengan hewan lain.

Azhari menyaksikan dengan takjub saat Rakus memetik dan mengunyah daun Fibraurea tinctoria dan mengoleskannya ke lukanya.

Fibraurea tinctoria mrupakan sejenis tanaman merambat liana yang dikenal karena sifat antibakteri, antiinflamasi, antijamur, dan pereda nyerinya.

"Tiga belas menit setelah Rakus mulai memakan tanaman liana, dia mulai mengunyah daunnya tanpa menelannya dan menggunakan jari-jarinya untuk mengoleskan sari tanaman dari mulutnya langsung ke luka di wajahnya," tulis para peneliti dalam studi mereka tentang fenomena tersebut.

4 dari 4 halaman

Ia kemudian menempelkan daun yang sudah dikunyah itu ke dalam lukanya untuk menutupinya, mirip dengan perban.

Para peneliti menemukan Rakus lima hari kemudian dan terkejut karena lukanya telah tertutup.

Beberapa minggu kemudian, luka Rakus telah sembuh total.

Meskipun para peneliti percaya bahwa Rakus menggunakan tanaman tersebut dengan sengaja, mereka tidak yakin seberapa banyak proses yang dia pahami.

"Ini menunjukkan bahwa dia, sampai batas tertentu, memiliki kapasitas kognitif yang dia perlukan untuk mengobati lukanya dengan beberapa tanaman yang aktif secara medis," tutur Dr. Caroline Schuppli, penulis senior studi tersebut dan peneliti di Max Planck Institute of Animal Behavior di Jerman, kepada The Guardian.

"Tapi kami benar-benar tidak tahu seberapa besar pemahamannya," imbuhnya.

Demonstrasi Rakus bukanlah pertama kalinya seekor hewan diamati menggunakan tumbuhan untuk tujuan pengobatan.

Para peneliti telah mengamati orangutan Kalimantan menggosok anggota tubuh mereka dengan daun kunyah dari tanaman yang biasa digunakan manusia untuk mengobati nyeri otot.

Selain itu, para ilmuwan telah mendokumentasikan simpanse mengunyah tanaman yang diketahui dapat mengobati infeksi cacing dan bahkan mengoleskan serangga pada luka.

Namun, kasus Rakus unik karena ini adalah pertama kalinya para peneliti mengamati seekor hewan mengoleskan zat yang diketahui memiliki khasiat obat ampuh pada luka terbuka.

"Dalam kasus simpanse, mereka menggunakan serangga dan sayangnya tidak pernah diketahui apakah serangga ini benar-benar mendorong penyembuhan luka," ujar Schuppli.

"Padahal dalam kasus kami, tanaman tersebut dimanfaatkan oleh orangutan, dan tanaman ini diketahui mempunyai khasiat medis," terangnya.

Meskipun para peneliti tidak yakin apakah Rakus mempelajari perilaku ini sendiri atau dari orangutan lain, hal tersebut mengungkapkan informasi menarik tentang evolusi perawatan luka, terutama pada manusia.

"Jika perilaku ini terjadi pada beberapa kerabat terdekat kita yang masih hidup, apa yang dapat kita ketahui tentang bagaimana pengobatan pertama kali berevolusi?" papar Tara Stoinski, presiden dan kepala staf ilmiah untuk organisasi nirlaba Dian Fossey Gorilla Fund.

Baca juga: Ilmuwan Temukan Benua yang Diduga Hilang Tanpa Jejak 155 Juta Tahun Lalu, Benarkah Ada di Indonesia?

(TribunTravel.com/mym)

Untuk membaca artikel terkait berita viral, kunjungi laman ini.

Selanjutnya
Sumber: Tribun Travel
Tags:
ilmuwanSemutAustralia Fomepizole HBF Park Anthony Albanese Agus Purwanto
BeritaTerkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved