Breaking News:

Menelusuri Jejak Sejarah Pecinan Jatinegara di Jakarta, Mampir Sejenak ke Klenteng Shia Djin Kong

Menurut cerita sejarah, sebenarnya ada beberapa kawasan Pecinan di Jakarta, mengingat sudah bangsa Tiongkok sudah datang ke wilayah Nusantara.

bisniswisata.co.id
Ilustrasi 

TRIBUNTRAVEL.COM - Menjelang datangnya Tahun Baru China, atau biasa disebut Imlek, kawasan Pecinan di sebuah kota memang selalu menarik untuk dikunjungi.

Pasalnya, kawasan itu sedang semarak dengan berbagai hiasan dalam menyambut tahun yang baru menurut penanggalan China.

Menurut cerita sejarah, sebenarnya ada beberapa kawasan Pecinan di Jakarta, mengingat sudah bangsa Tiongkok sudah datang ke wilayah Nusantara sejak ribuan tahun lalu.

Sebut saja kawaan Glodok, Jatinegara, Tanahabang, Setiabudi, Kebayoran Lama, Senen adalah kawasan Pecinan di Jakarta pada masa lalu.

Ilustrasi Imlek di China
Ilustrasi Imlek di China (Unsplash.com/@alanaharris)

Mereka hidup berbaur dengan suku bangsa lainnya yang datang ke Jakarta, sehingga pada saat ini sudah tidak terlalu kentara lagi perbedaan asal-muasal mereka.

Karena itulah, saat ini kebanyakan masyarkat Jakarta tahunya hanya Glodok kawasan Pecinan di kota ini.

Berdiri Sejak 20 Tahun Lalu, Soto Semarang di Pecinan Ini Tak Pernah Sepi Pelanggan

Jatinegara

Membaca sejarah Jakarta itu, saya dan tim Warta Kota Travel tertarik melihat kawasan Pecinan lainnya di Jakarta. Pilihan kami adalah Jatinegara.

Zaman dahulu, tepatnya mulai tahun 1744, Jatinegara adalah kota satelitnya Batavia, di bagian tenggara Batavia.

Lama kelamaan penduduk kota satelit ini bertambah, termasuk kelompok pedagang beretnis Tionghoa.

2 dari 4 halaman

Mereka membangun permukiman lengkap dengan tempat ibadah.

Maka kami ingin melihat peninggalan masyarakat Tionghoa di Jatinegara dengan cara wisata jalan kaki.

Pekerja sedang mengganti lampu lampion di Vihara Hian Thian Siang Tee, di kawasan Gelora, <a href='https://travel.tribunnews.com/tag/jakarta' title='Jakarta'>Jakarta</a> Pusat, Senin (13/1/2020). Kegiatan rutin ini dilakukan sebagai bagian dari persiapan menyambut perayaan Tahun Baru Imlek. Aksi bersih bersih ini dilakukan agar umat yang databg bisa lebih hikmat dalam beribadah.Ternyata itu bukan hal yang mudah.

Berbeda dengan kawasan Glodok,  di Jatinegara jumlah anggota komunitas Tionghoa tidak sebanyak di Glodok, dan mereka lebih membaur dengan masyarakat di luar kelompok mereka.

Ketika itu di Jatinegara juga dihuni masyarakat petani lokal yang sekarang dianggap sebagai suku Betawi.

Ada pula kelompok masyarakat keturunan Timur Tengah, dan pendatang dari wilayah lain di Nusantara.

Karena itulah peninggalan masyarakat Tionghoa di Jatinegara tak sebanyak Glodok.

Meski begitu, masih ada jejak-jejaknya yang terlihat. 

Suasana Klenteng Shia Djin Kong di Gang Padang atau Jalan Bekasi Timur Gang 1, Jatinegara, Jakarta Timur.
Suasana Klenteng Shia Djin Kong di Gang Padang atau Jalan Bekasi Timur Gang 1, Jatinegara, Jakarta Timur. (Warta Kota/Janlika Putri)

Klenteng di Gang Sempit 

Satu di antaranya adalah Klenteng atau Bio Shia Djin Kong, yang saat ini menjadi satu dengan Vihara Dharma Kumala.

3 dari 4 halaman

Saya dan tim Warta Kota Travel memulai wisata jalan kaki ini dari stasiun Jatinegara, karena stasiun yang berdiri sejak tahun 1910 itu sangat dekat dengan klenteng ini.

Kami menyeberangi Jalan Bekasi Barat di depan stasiun, dan masuk ke gang kecil di seberang stasiun.

Jalan yang kalau di peta Google bernama Jalan Bekasi Timur Gang 1 ini sangat kecil, mungkin hanya muat 1 mobil kecil.

Kami sempat ragu-ragu ketika akan memasuki gang tersebut. Pasalnya kami membayangkan klenteng ini cukup besar, seperti klenteng-klenteng di wilayah Glodok, sehingga rasanya tak mungkin berada di jalan sekecil itu.

Kami harus bertanya beberapa kali ke beberapa orang yang berada di sekitar mulut gang tersebut.

Ada yang menjawab tidak tahu, tapu untungnya ada yang tahu juga soal keberadaan klenteng tersebut.

"Ya, masuk jalan ini lurus aja terus masuk ke jalan yang ada gapura merah di sana," ujar seorang pria muda yang sepertinya memiliki kios di mulut gang ini.

Kami berjalan mengikuti arahannya, menyusuri jalan yang hanya seukuran lebar satu mobil dan berdinding semen kasar di sisi kanannya.

Sekitar dua menit berjalan, kami sudah sampai di ujung Jalan Bekasi Timur Gang 1, dan menemukan perpotongan Gang 1 dengan Jalan Bekasi Timur IX.

Sesuai arahan pria muda tadi, kami menyeberang dan masuk ke gang yang lebih sempit lagi, hanya satu motor masuk pun sudah kerepotan. Di mulut gang itu terdapat sebuah papan nama berwarna putih dengan tulisan merah, "Vihara Dharma Kumala Bio Shia Djin Kong".

Papan nama Klenten/Bio Shia Djin Kong
Papan nama Klenten/Bio Shia Djin Kong (Warta Kota/Janlika Putri)
4 dari 4 halaman

Seperti lazimnya gang-gang di Jakarta, gang tersebut tercipta dari rumah-rumah yang rapat sehingga tiada jarak satu sama lain. Saking padatnya, maka pada siang hari pintu depan harus dibuka lebar-lebar, agar udara segar masuk ke rumah.

Kami bisa melihat dua orang ibu-ibu sedang mengobrol karena pintu rumahnya terbuka lebar.

Di tengah-tengan permukiman padat seperti itulah Bio Shia Djin Kong berada.

Sedang berbenah

Warna dindingnya yang merah sangat kontras dengan rumah-rumah di yang ada di sana.

Belum lagi wangi dupa menguar sehingga tercium dengan tegas.

Papan nama bertuliskan aksara Cina di atas menggantung di ambang pintu masuk menyambut kami.

Selain aksara Cina tertulis juga namanya dalam huruf latin “Yayasan Bio Shia Jin Kong”.

Beberapa pria sedang sibuk dengan aktivitasnya, ada yang membersihkan debu-debu, ada yang sedang memperbaiki atap bangunan tersebut.

Seorang pria keluar menyambut kami. Dia adalah Ikim Sudrajat, satu cucu dari pendiri klenteng ini.

Bio Shia Djin Kong didirikan oleh Thung Jih Wei pada tahun 1944.

“Ayo masuk aja. Emang lagi nyiapin buat Imlek nih” Kata Ikim mengajak masuk.

Thung Jih Wei pendiri Klenteng Shia Djin Kong.
Thung Jih Wei pendiri Klenteng Shia Djin Kong. (Warta Kota/Janlika Putri)

Vihara dan Bio

Klenteng Shia Djin Kong sangat sederhana, dan terletak di bangunan yang kira-kira berukuran 6 x 3 meter.

Di sebelah kanannya adalah Vihara Dharma Kumala, yang juga memiliki ukuran hampir sama.

Perpaduan dua tempat ibadah ini cukup unik, sebab klenteng dengan warna merahnya yang khas, dan ramai dengan hiasan. Sementara vihara berwarna putih.

Di sisi klenteng sangat kental nuansa Tiongkok dengan balutan warna merah. Ada pilar kayu dengan ukiran naga yang sangat indah.

Lalu di langit-langitnya menggantung lampion-lampion berwarna merah.

Pada bagian terdalam klenteng terdapat beberapa altar dengan patung dewa, yang diberi nomor.

Ikin mengatakan bahwa tempat ini memang dibuat menjadi dua tempat ibadah. “Yang temboknya putih itu untuk Vihara Dharma Kumala, dan yang merah itu Bio atau Kelenteng Shia Djin Kong” katanya.

Vihara adalah tempat beribadah bagi pemeluk agama Buddha, sedangkan bio adalah rumah ibadah Konghuchu.

Aneka patung Buddha dan Dewi kwan Im di Vihara Dharma Kumala.
Aneka patung Buddha dan Dewi kwan Im di Vihara Dharma Kumala. (Warta Kota/Jalinka Putri)

Dewa Pengobatan

Seperti klenteng pada umumnya, selalu ada satu dewa yang menjadi penghuni utama rumah.

Maka sesuai nama klenteng ini, dewa utama di bio ini adalah Shia Djin Kong.

Shia Djin Kong adalah dewa pengobatan, yang sangat membantu kinerja dari Thung Jih Wei.

“Kakek saya sinshe asli dari Cina. Dia buka praktek di Indonesia dan buka Bio ini, maka pilihannya Dewa Shia Djin Kong karena cocok dan membantu kerjanya dalam menyembuhkan orang” ujar pria bernama asli Thung Dua Kim itu.

Shia Djin Kong menjadi dewa utama di Bio Shia Djin Kong.
Shia Djin Kong menjadi dewa utama di Bio Shia Djin Kong. (Warta Kota/Jalinka Putri)

Toleransi

Kini, meskipun masyarakat di sekitar klenteng bukan penganut Konghucu, namun toleransi tetap dijaga dan dipraktikkan oleh warga setempat.

Maka tak mengherankan bila sebuah klenteng berusia puluhan tahun bisa berada di tengah permukiman yang padat.

Berkunjung ke sini selain menjadi wisata sejarah, juga bisa melihat warisan nenek moyang bangsa Indonesia soal keberagaman.

Jika tertarik ingin berkunjung, alangkah baiknya saat tak ada acara keagamaan agar tak mengganggu.

Ikim menjelaskan menjelang Imlek bio ini mengalami peningkatan pengunjung.

Selain itu, saat Cap Go Meh, yang tahun ini akan jatuh pada tanggal 8 Februari, merek akan mengarak patung Shia Djin Kong ke Pasar Lama Jatinegara, untuk mengikuti acara di Vihara Amurva Bhumi.

6 Pecinan di Indonesia yang Terkenal dengan Perayaan Imlek Meriah

Ribuan Lampion Dipasang di Pecinan Solo Jelang Tahun Baru Imlek 2020

Jelang Tahun Baru Imlek 2020, Kawasan Pecinan Solo Dihiasi 5.000 Lampion

Pecinan Lasem hingga Situs Perahu Kuno Punjulharjo di Rembang Segera Dicagarbudayakan

4 Jajanan Khas Imlek yang Bisa Ditemukan di Pecinan Bogor, Ada Kue Keranjang Aneka Warna

Artikel ini telah tayang di Tribunwartakotatravel.com dengan judul Wisata Jalan Kaki Pecinan Jatinegara 1: Klenteng di Gang Sempit Jatinegara

Selanjutnya
Sumber: Tribun Travel
Tags:
PecinanJakartaJatinegaraKlenteng Shia Djin Kong Sate Taichan
BeritaTerkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved