Hanya tangan dan ketekunan.
Semangat ramah lingkungan ini bukan sekadar strategi bisnis, melainkan prinsip yang ia pegang teguh.
“Kaca itu sulit didaur ulang, jadi saya manfaatkan. Biar nggak terbuang percuma,” tuturnya.
Namun, seperti banyak perajin lainnya, Julia dihadapkan pada realitas pasar: produk buatan tangan sering dibandingkan dengan barang massal.
Di kawasan wisata seperti Prambanan, rajutan murah banyak dijual.
Bedanya, kualitasnya sangat jauh berbeda.
“Orang sering lihat harga dulu. Padahal benang murah itu kasar, gampang rusak. Tapi kalau kita edukasi pelan-pelan, lama-lama mereka ngerti,” ujarnya.
Maka dari itu, Julia tidak hanya berjualan—ia juga mendidik.
Ia rajin menjelaskan tentang bahan, teknik, dan proses pembuatan produknya kepada pembeli, baik secara langsung maupun lewat media sosial.
“Ada harga, ada kualitas. Dan yang handmade itu ada cerita di baliknya,” tambahnya.
Untuk pemasaran, Julia aktif di berbagai kanal: WhatsApp, Instagram, Shopee, hingga platform lokal seperti Cenderaloka.
Ia juga rutin mengikuti bazar dan workshop untuk memperluas jaringan dan memperkenalkan produknya ke lebih banyak orang.
“Kalau ada acara bazar, saya semangat. Bisa ketemu pelanggan langsung, bisa cerita. Dari situ biasanya lahir koneksi-koneksi baru,” katanya.
Yang menarik, Julia tak melihat sesama pelaku UMKM sebagai pesaing.
Ia justru menjalin hubungan baik dan terbuka untuk belajar dari siapa pun.
Baca tanpa iklan