"Hasilnya, wilayah Timau masih minim polusi cahaya sehingga optimal untuk dijadikan kawasan pengamatan astronomi," ujarnya.
BRIN menilai, Kupang memiliki waktu langit paling cerah terbanyak dalam setahun dibandingkan tempat-tempat lain di tanah air.
Hal itu kontras dengan apa yang terjadi di Observatorium Bosscha yang sudah tak layak lagi menjadi pusat pengamatan antariksa karena semakin banyaknya permukiman dan menyebabkan tingginya polusi cahaya.
Lokasi berdirinya sebuah observatorium memang harus berada di kawasan yang gelap dan tidak banyak hambatan awan.
Sebab di daerah yang cahayanya sangat rendah itulah kita dapat melihat kelip bintang di langit.
Mengutip website Observatorium Bosscha, komponen polusi cahaya meliputi pendaran langit malam (sky glow) berasal dari cahaya buatan berlebih seperti banyaknya sinar lampu di atas area permukiman dan terpantul ke atas dan dihamburkan oleh aerosol seperti awan atau partikel kecil seperti polutan ke atmosfer.
Ada lagi, glare atau silau hasil sensasi visual yang dialami seseorang ketika cahaya menyimpang lebih besar dari cahaya yang dapat diadaptasi oleh mata.
Ada pula pengelompokan sumber cahaya terang dan membingungkan (clutter) serta light trespass atau dikenal sebagai luberan cahaya, yaitu cahaya jatuh di tempat yang tidak dibutuhkan.
Seiring itulah, BRIN telah menyiapkan lahan seluas 40 hektare untuk kebutuhan Observatorium Nasional Timau dan menghabiskan biaya sebesar Rp340 miliar.
Observatorium Nasional Timau nantinya akan terdiri dari Gedung Pusat Sains dan Operasional Obnas, Laboratorium Kendali I, II, dan III, serta Gedung Open Science Center (OSC).
Selain itu, terdapat pula Laboratorium Mekanik dan Laboratorium Pengamatan Antariksa.
Teleskop Seimei
Sejumlah fasilitas canggih untuk kebutuhan pengamatan benda-benda langit ditanamkan di Obnas Timau seperti teleskop optik berdiamater 3,8 meter atau terbesar di Asia Tenggara, teleskop survei berdiameter 50 sentimeter, dan teleskop matahari berdiameter 30 cm.
Untuk teleskop optik 3,8 meter seperti dikutip dari NHK World, dibuat oleh para ahli astronomi BRIN bekerja sama dengan Universitas Kyoto, pengelola Observatorium Okayama, Jepang.
Salah satu pihak yang ikut terlibat adalah guru besar astronomi Universitas Kyoto Kurita Mikio, yang membuat teleskop Seimei di Observatorium Okayama dan menjadi yang terbesar di kawasan Asia Timur.