Segera setelah itu, pesawat mulai menukik.
“Saat itu gelap gulita dan orang-orang berteriak, lalu deru mesin yang dalam memenuhi kepalaku sepenuhnya,” kenang Juliane.
Saat jatuh, pesawat itu pecah.
Hal berikutnya yang Juliane tahu dia berada di tempat terbuka, masih terikat di kursinya dan jatuh ke dalam hutan.
“Saya bisa melihat hutan berputar ke arah saya. Kemudian saya kehilangan kesadaran dan tidak ingat apa-apa,” katanya.
Ketika dia bangun keesokan harinya, dia mendapati dirinya dikelilingi oleh dedaunan lebat. Tidak ada orang lain.
Pesawat itu terbang di ketinggian 21.000 kaki ketika menabrak badai petir.
Pesawat pecah di sekitar 10.000 kaki, dan jatuh dari ketinggian itu.
Kelangsungan hidup Juliane sungguh ajaib.
Bahkan lukanya—tulang selangka patah, lutut terkilir, dan beberapa luka di bahu dan kakinya—tidak terlalu parah.
“Saya berbaring di sana, hampir seperti embrio sepanjang malam, sampai keesokan paginya,” tulisnya dalam memoarnya, When I Fell From the Sky , yang diterbitkan pada 2011. “Saya benar-benar basah kuyup, tertutup. dengan lumpur dan tanah, karena itu pastilah hujan deras sehari semalam.”
Baca juga: Kabar Terkini Abah Juhani, Jemaah Viral yang Ingin Turun dari Pesawat Sebab Lupa Kasih Makan Ayam
Saat itu pertengahan musim hujan, jadi tidak ada buah yang bisa dipetik dan tidak ada ranting kering untuk membuat api.
Terlepas dari situasinya yang genting, Juliane tidak merasa takut.
Setelah menghabiskan tiga tahun bersama orang tuanya di stasiun penelitian mereka, Juliane belajar banyak tentang kehidupan di hutan hujan.
“Saya mengenali suara satwa liar dari Panguana dan menyadari bahwa saya berada di hutan yang sama,” katanya.