Keluarga itu batal naik pesawat dan panik di bandara, tidak tahu ke mana harus pergi atau apa yang harus dilakukan.
Mereka akhirnya menemukan hotel terdekat dan melakukan tes PCR tambahan di rumah sakit setempat setelah mengantri di luar selama tiga jam dalam suhu di bawah nol derajat.
Sehari kemudian, Cheryl dinyatakan positif sedangkan suaminya masih negatif.
Dia mengalami demam 38,5 derajat Celcius dan sakit kepala parah yang berlangsung selama seminggu.
Tapi dia mengira rasa sakit itu akibat flu setelah ia mengantri di luar ruangan selama tiga jam dalam suhu beku untuk tes PCR.
Cheryl menambahkan, dia kehilangan indra penciumannya dan hidungnya terasa tersumbat.
Dia juga sering batuk hingga nyeri di paru-paru.
Suaminya memutuskan pulang terlebih dahulu, tetapi di bandara ia ditahan karena tujuh hari belum berlalu sejak kontak terakhir dengan pasien positif Covid-19.
Kemudian Cheryl berjuang untuk mencari tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Dia menyesal tidak membeli kartu SIM lokal, karena banyak panggilan yang dia lakukan dengan saluran Singapura sehingga biayanya membengkak sekitar 800 SGD.
Akhirnya, setelah mencari bantuan dari kedutaan Singapura, ibu dan anak itu dikirim ke pusat perawatan di Seoul selama sembilan hari.
Cheryl mengingat makanan yang disediakan "sangat enak".
Namun, dia tidak bisa makan banyak karena kehilangan indra perasa dan penciumannya.
Setelah dipulangkan, ibu dan anak itu masih belum bisa kembali ke Singapura karena aturan Covid-19 saat itu.
Artinya, mereka harus menambah durasi lima hari lagi di Korea Selatan.
Baca tanpa iklan