Sesepuh Desa Nepen, Sugiman mengungkapkan, di mana sekitar tahun 1998 kubangan tanah besar penuh air jernih itu mendadak kering.
Padahal, air dari sumber mata air itu sangat penting bagi kehidupan masyarakat.
Pasalnya kejernihan air dari sumber mata air itu tak hanya untuk mencukupi kebutuhan air rumah tangga, seperti masak, minum, mandi dan mencuci.
Lebih jauh dari itu, sumber mata air itu juga sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat sekitarnya.
Sebagai masyarakat agraris, sumber air dari umbul itu jadi andalan masyarakat sekitar dalam bertani.
Keringnya umbul ini juga menjadi bencana besar bagi masyarakat.
Masyarakat seakan menghadapi paceklik atau masa sulit.
Sawah-sawah masyarakat yang semula bisa ditanami padi 2-3 kali dalam setahun, sejak saat itu hanya sekali.
Air hujan satu-satunya andalan masyarakat dalam bercocok tanam.
“Ya sejak mengeringnya umbul ini, otomatis pola tanam sawah warga sini menjadi terganggu,” ungkap dia kepada TribunSolo.com.
Benar saja, selama lebih dari 4 tahun, warga terus dirundung kegelisahan akan matinya sumber kehidupan ini.
Hanya saja, tak banyak masyarakat peduli dengan kehidupan anak cucu yang akan datang.
“Masyarakat sini sebanarnya juga resah dengan matinya sumber air ini. Tapi mereka seakan cuek,” ujarnya.
Sugiman yang tidak bisa tinggal diam begitu saja dengan kondisi ini, lalu berdiskusi dengan dua warga lainnya.
Dari diskusi itu, dapat ditarik kesimpulan jika matinya sumber yang tak wajar ini pasti ada penyababnya.