Proses yang dikenal sebagai 'gavage' itu diulang beberapa kali dalam sehari.
Pemberian makan paksa menyebabkan hati angsa membengkak hingga 10 kali ukuran aslinya.
Memberi makan secara paksa, dengan jumlah yang tak sedikit, juga dapat menyebabkan kegagalan organ, cedera pada paruh dan tenggorokan burung, serta radang paru-paru.
Kandang sempit yang terbuat dari kawat pun dapat menyebabkan kaki angsa cedera.
Tak sampai di situ, kandang adalah siksaan mental bagi hewan yang biasanya ingin tahu dan sensitif ini.
Pada fase inilah, angsa yang telah 'disiksa' itu kemudian disembelih untuk diambil hatinya.
Karena proses yang sangat kejam inilah, foie gras telah dilarang di beberapa negara.
Kejamnya praktik gavage
Praktik gavage sebenarnya berasal dari orang Mesir kuno pada 2500 SM ketika mereka memaksa memberi makan unggas.
Tujuannya agar unggas cepat gemuk dan kemudian dikonsumsi.
Baca juga: Bakso Legendaris di Tangerang Buka Sejak 1967, Sehari Habiskan 25 Kg Daging Sapi
Dilaporkan The Spruce Eats, gavage kontroversial karena pemaksaan makan dipandang sebagai jenis kekejaman terhadap hewan yang lebih dari sekadar memelihara hewan untuk disembelih untuk dimakan.
Komunitas kuliner agak terpecah dalam masalah ini, dengan beberapa koki bahkan menolak untuk menyajikan foie gras.
Sementara di Prancis, undang-undang menyatakan bahwa foie gras milik warisan budaya dan gastronomi Prancis yang dilindungi.
Produsen foie gras berpendapat bahwa dimungkinkan untuk melakukan gavage dengan cara yang manusiawi.
Baca juga: Sop Iga Super Murah di Garut Buka 24 Jam, Omzetnya Puluhan Juta Sehari
Mereka menyebut, angsa dan bebek adalah burung migran yang makan dalam jumlah besar sebelum bermigrasi, yang berarti burung tersebut secara alami menggemukkan diri.
Dengan mengatur waktu pembantaian dengan pola migrasi ini, memungkinkan untuk menghasilkan foie gras yang lebih etis dan manusiawi.
(TribunTravel.com/Sinta A.)