Ketupat, kata Wira, pada awalnya bernama kupat yang merupakan singkatan dari laku papat yaitu cipta (pikiran), rasa, karsa (sikap), dan karya (perbuatan) atau segala tindakan yang berhubungan dengan kehidupan diri sebagai manusia.
Permintaan maaf
Sementara opor, berasal dari ajaran konsep kehidupan yaitu ‘apura-ingapura’ atau ‘ngapuro’ yang berarti maaf memaafkan.
“Sedangkan Lebaran diambil dari kata leburan, yaitu peleburan dosa-dosa kita. Itulah kenapa ketupat dan opor selalu disandingkan pada saat hari raya,” papar Chef Wira.
Ketupat dan opor konon telah dipasangkan bahkan pada masa pra-Islam.
Baca juga: Daftar Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2021, Ada Perubahan Libur Hari Raya Idul Fitri
Ketupat dan opor dipasangkan karena maknanya meminta maaf atas segala kesalahan baik tindakan juga pikiran buruk atas sesuatu atau seseorang.
Menurut Chef Wira, opor sendiri merupakan bentuk asimilasi budaya orang-orang Nusantara.
Opor konon diadopsi dari Kerajaan Mughal di India.
Sajian tersebut bernama ‘qorma’ yang diambil dari bahasa Urdu yaitu teknik memasak daging dengan menggunakan yoghurt dan/atau susu.
Sementara di Nusantara, sajian qorma ini diasimilasi menjadi menggunakan santan.
Sajian ini mulai masuk ke Nusantara, menurut Chef Wira, sekitar abad ke-15 dan bisa ditemukan di daerah pesisir.
“Karena catatan abad ke-16 telah ramai saudagar-saudagar India yang berdagang di pesisir pantai,” pungkasnya.
Baca juga: Selain Opor, Ini Kuliner Khas Hari Raya Idul Fitri dari Berbagai Daerah di Indonesia
Baca juga: 5 Ide Hampers Lebaran Unik untuk Diberikan saat Hari Raya Idul Fitri
Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul "Filosofi Indah di Balik Mengapa Ketupat dan Opor Ayam Selalu Dihidangkan Saat Idul Fitri".