Untuk menu masakannya sendiri, setiap daerah di Aceh memiliki masakan khas daerahnya masing-masing saat meugang.
Bahkan, antara satu rumah dengan rumah lainnya pun menu masakannya untuk meugang bisa berbeda.
TONTON JUGA:
Misalnya di daerah perkotaan yang masyarakatnya merupakan pendatang dari berbagai daerah, mereka akan memasak sesuai dengan kebiasaan dari daerahnya masing-masing.
Di perkotaan, jenis masakan tidak lagi menjadi perhatian, ada yang memasak masakan modern seperti stik, semur, sate dan lain-lain.
Intinya mereka memuaskan diri dengan menu serba daging pada hari di mana tradisi meugang dilaksanakan.
Selain daging-dagingan, ada pula sejumlah makanan yang sering dihidangkan pada hari meugang.
Di antaranya adalah tape, leumang, serta timphan, makanan khas Aceh.
Awal mula tradisi meugang
Tradisi ini telah dimulai bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Aceh, yaitu sekitar abad ke-14 Masehi.
Mengutip bandaacehkota.go.id, Ali Hasyimi seorang sastrawan, ulama, dan tokoh Aceh menyebutkan bahwa tradisi ini sudah ada sejak masa kerajaan Aceh Darussalam.
Meugang dilaksanakan oleh kerajaan di istana yang dihadiri oleh para sultan, menteri, para pembesar kerajaan serta ulama.
Pada hari itu, raja memerintahkan kepada balai fakir, yaitu badan yang menangani fakir miskin dan dhuafa untuk membagikan daging, pakaian dan beras kepada fakir miskin dan dhuafa.
Semua biayanya ditanggung oleh bendahara Silatu Rahim, yaitu lembaga yang menangani hubungan negara dan rakyat di kerajaan Aceh Darussalam.
Dalam buku "Perayaan Mameugang dalam Perspektif Hukum Islam" yang ditulis oleh Iskandar pada tahun 20210 menyebutkan bahwa perayaan meugang ini dilaksanakan oleh Sultan Iskandar Muda sebagai wujud rasa syukur raja menyambut datangnya bulan Ramadan.