Awalnya, Vincent Raditya dibantu dengan beberapa timnya dan seorang kopilot lain berusaha mencoba menyesuaikan pesawat persis seperti keadaan terakhir Sriwijaya Air SJ182.
"Kita akan lihat ketika ada di kecepatan 200 dan kecepatan 300, pasti sangat signifikan," ungkapnya.
Ia langsung mempraktekkan bagaimana kondisi di dalam kokpit ketika ada dalam narasi yang disampaikan Flight Radar 24 tentang kondisi Sriwijaya Air.
"Baik, dengan kecepatan 200 ini memakan waktu 1 menit 10 detik," ungkapnya.
Setelah menyetel semua keadaan mesin simulator persis seperti yang terlihat di radar jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, Vincent pun mendapatkan kesimpulan.
"Oke kalian bisa melihat di sini ya, dengan kecepatan 300 radius putarnya sangatlah besar," katanya.
Sedangkan, ketika dibandingkan dengan pesawat ketika ada di kecepatan 200, ternyata perbedaan cukup signifikan.
"Tapi dengan kecepatan 200, radius putarnya sangat kecil di sini ya," simpulnya.
Hasil replikasi Vincent Raditya terhadap data Flight Radar 24 terkait Sriwijaya Air memang tidak bisa disamakan.
Menurut sang pilot, kecil sekali kemungkinan bahwa pesawat Sriwijaya Air kecelakaan dengan cara yang disengaja.
"Saya melihat bahwa, ketika kita turunkan pesawat, maka air speed nya akan naik, ketika air speed naik, maka tikungan yang dihasilkan akan menjadi sangat landai," ungkapnya.
"Yang bisa saya sampaikan adalah kecil kemungkinan apabila penerbangan ini dipaksakan dijatuhkan, baik itu dalam bentuk sabotase ataupun high jacking dari siapapun itu," tambahnya.
Vincent Raditya juga memberikan pendapat bahwa tragedi Sriwijaya Air menunjukkan adanya pesawat dalam posisi menikung sangat tajam.
Hal itu menurutnya menjadi hal yang sangat signifikan beda dengan simulasi yang coba ia jalankan.
"Tikungannya sampai 70 derajat, itu terlihat signifikan sekali bedanya, apabila kita sengaja membelokkan itu akan diperlukan waktu yang cukup lama, itu tidak mungkin," ungkapnya.
Baca tanpa iklan