TRIBUNTRAVEL.COM - Beberapa tahun terakhir tampaknya telah terlihat sejumlah kasus gangguan penerbangan akibat aktivitas vulkanik.
Tentu banyak yang akan mengingat letusan Eyjafjallajökull Islandia pada tahun 2010 silam.
Melansir laman Simple Flying, peristiwa tersebut menyebabkan penutupan wilayah udara di seluruh Eropa dan gangguan besar-besaran pada penerbangan Eropa dan Amerika selama beberapa minggu.
Sebagai salah letusan yang paling mengganggu penerbangan dalam satu dekade terakhir, peristiwa ini telah menyebabkan perubahan regulasi dan keselamatan.
Baca juga: Ada Larang Merokok, Kenapa Pesawat Baru Masih Sediakan Asbak di Toilet?
Gunung berapi lain, misalnya di New Zealand dan Indonesia juga banyak menimbulkan masalah penerbangan.
Di tahun ini, tepatnya pada Januari 2020, letusan gunung di Filipina turut menambah masalah pada penerbangan.
Untungnya, tidak ada kerugian pesawat secara langsung akibat abu vulkanik, menurut IATA.
Kendati demikian, ada beberapa insiden yang cukup serius.
Satu di antaranya yang paling terkenal adalah British Airways 747 yang terbang melalui awan abu gunung berapi di Indonesia pada tahun 1982.
Pesawat kehilangan keempat mesinnya, tetapi setelah turun berhasil menghidupkannya kembali dan mendarat dengan selamat di Jakarta.
Kerusakan akibat abu vulkanik
Letusan gunung berapi seringkali menghasilkan abu vulkanik, dan ini berbahaya bagi pesawat terbang.
Abu vulkanik terdiri dari partikel kecil batu dan kaca yang dihancurkan.
Material ini melambung ke atmosfer melalui ledakan vulkanik dan kemudian terbawa angin untuk jarak yang berpotensi jauh.
Abu vulkanik bersifat keras dan kasar serta dapat menyebabkan kerusakan pada banyak bagian pesawat terbang.
Baca tanpa iklan