Meski demikian, budaya ketepatan waktu ini bisa membuat stres bagi sebagian orang.
"Pacar saya bekerja di call center untuk JR Railways. Minggu lalu, dia kembali bekerja setelah istirahat (makan siang) dan pengawas mengatakan 'kamu terlambat 10 detik'," kata seorang pria yang meminta tidak disebutkan namanya.
Ia menambahkan ekannya itu akhirnya diberi peringatan atas keterlambatannya.
"Sangat ekstrim," katanya.
Obsesi Jepang untuk selalu tepat waktu sering dipandang sebagai hal unik oleh wisatawan.
Kebiasaan tepat waktu di Jepang sudah menjadi cirikhas negara yang dikenal disiplin ini.
Namun, sebenarnya keterlambatan di tempat kerja memiliki dampak nyata pada perekonomian.
Menurut laporan Heathrow Express 2017, di Inggris, para pekerja yang datang terlambat merugikan perekonomian hingga 9 miliar poundsterling atau Rp 170,6 triliun setahun.
Lebih dari separuh orang yang disurvei dalam laporan itu mengatakan, mereka datang terlambat ke tempat kerja dan rapat secara teratur.
Di Amerika Serikat, keterlambatan juga memberikan dampak buruk bagi perekonomian.
Di negara bagian New York, pekerja yang terlambat menghabiskan biaya USD 700 juta atau sekitar Rp 10 triliun setahun.
Di California, para pekerja yang datang terlambat membutuhkan biaya lebih dari USD 1 miliar atau sekitar Rp 14 trilian setiap tahunnya, menurut sebuah laporan tahun 2018 oleh majalah Inc.
Tapi Jepang tidak selalu ngotot untuk tepat waktu.
Hingga akhir tahun 1800-an, era Jepang pra-industri memiliki sikap yang jauh lebih santai.
Willem Huyssen van Kattendijke, seorang perwira angkatan laut Belanda yang datang ke negara itu pada tahun 1850-an, menulis dalam buku hariannya bahwa penduduk setempat tidak pernah tepat waktu.
"Kemalasan orang Jepang cukup mencengangkan," katanya.