Kini Sri Sultan Hamengku Buwono berkenan “boyong" (pindah) dari Ambarketawang ke kratonnya baru, yang kemudian dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Jadi hingga sekarang kraton itu sudah genap 224 tahun dan sebentar lagi 225 tahun (1905).
Sri Sultan boyong
Waktu Sri Sultan boyong, seluruh kerabat, para hamba dan rakyat dan anggaota-anggota laskarnya yang turut berjuang selama kurang lebih enam tahun melawan Kumpeni Belanda (dari 1749-1755), turut hijrah dari Ambarketawang ke Yogyakarta.
Terutama bekas anggauta laskarnya P. Mangkubumi yang terdiri dari beberapa “bendera" (pasukan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang adipati, diberi tempat kediaman khusus sendiri-sendiri, di sebelah Barat, Selatan serta Timur beteng Keraton.
Maksudnya sekaligus untuk menanggulangi musuh, kalau-kalau ada musuh yang mendatangi, terutama dari sebelah Barat. Dari sebelah Timur tak begitu dikhawatirkan.
Oleh karena itu disebelah Barat kali Winongo ditempatkan lima dari bekas pasukannya, yaitu masing-masing : Wirabraja, Daeng, Ketanggung, Patangpuluh dan Bugis.
Dalam peperangan melawan Kumpeni Belanda, banyak tentara Kumpeni yang ditawan atau dibunuh.
Mereka terdiri dari serdadu-serdadu bayaran, yang berasal dari Bali, Madura, Sulawesi Selatan dan Ternate selain serdadu-serdadu berkulit putih.
Mereka yang menyerah hidup-hidup dan ingin mengabdi kepada Sang Pangeran, mendapat pengampunan serta diberi kesempatan untuk bekerja sama.
Kebanyakan bahkan turut membantu berjuang melawan Kumpeni Belanda.
Di antaranya terdapat banyak orang dari Sulawesi Selatan (Bugis dan Daeng) yang membalik turut berjuang di pihak Mangkubumi.
Mereka masing-masing dikumpulkan menjadi satu pasukan tersendiri, yang terdiri dari orang-orang Bugis atau Daeng, serta merupakan suatu kesatuan tempur sendiri.
Setelah damai orang-orang itu ingin tetap tinggal ditanah Jawa.
Konon pasukan Wirabraja juga terdiri dari serdadu-serdadu Belanda yang telah menyerah dan tertawan, dan kemudian dijadikan semacam “stoottroep" atau pasukan tempur.
Baca tanpa iklan