Selain menari untuk menghibur warga, Tayub sering dimainkan untuk kegiatan budaya seperti di lokasi yang dianggap memiliki sejarah bagi desa tersebut.
Ketika disinggung mengenai masa depan tari Tayub di desanya. Gunem hanya bisa tersenyum kecut, dan cukup bingung menjawab.
Sepengetahuan dirinya, kesenian tayub awalnya ada dua kelompok yakni Dusun Kuweni, dan Badongan.
Namun karena minimnya penari Tayub kedua kelompok ini melebur menjadi satu.
"Dulu seangkatan saya itu banyak sekali. Ada puluhan (penari) mungkin di desa ini. Sekarang tinggal tiga. Saya, Purwanti dan Wahyu. Ada satu yang masih sekolah, kalau hari sabtu dan Minggu mau ikut juga," ucapnya.
Hambatan yang sering dihadapi seperti ketika ada penari berhalangan untuk ikut dalam sebuah pentas.
Untuk mengatasi hal tersebut dirinya mencari penari lain yang tidak memiliki kemampuan untuk menunjukkan tari Tayub.
"Mau tidak mau ya saya carikan penari lain biasanya dari campursari. Kalau ada yang paham mengenai tari Tayub pasti akan tahu bahwa yang menari bukan asli penari Tayub, yang membedakan adalah gerakannya kalau yang tidak terbiasa pasti terlihat kaku," ujarnya.
"Biasanya mereka berhenti menari karena sudah berkeluarga. Ada beberapa teman saya dulu berhentinya karena dilarang suaminya. Saat ini ada beberapa kelompok penari tayub, tetapi sudah tidak sama pakemnya dengan kami," ucapnya. (Kompas.com/Markus Yuwono)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Desa Penari yang Eksistensinya Terancam Regenerasi..."