Jumlah anggotanya 25 orang, tetapi empat penggerak utamanya adalah Mayjen S Parman, Mayjen MT Haryono, Brigjen Sutoyo Siswomihardjo, dan Brigjen Ahmad Soekendro.
Grup ini aktif melakukan counter politik untuk menandingi dominasi PKI.
Peran penting Ahmad Soekendro inilah yang membuat PKI geram.
PKI menganggap Ahmad Soekendro sebagai bahaya laten.
Ketika peristiwa G30S/PKI dilancarkan, Brigjen Ahmad Soekendro diperintahkan oleh Soekarno untuk menjadi delegasi Indonesia untuk peringatan hari kelahiran Republik China pada 1 Oktober 1965.
Sehingga, dia selamat dari korban penculikan.
Selepas peristiwa itu, peran Brigjen Ahmad Soekendro mulai tersisih oleh kiprah Ali Moertopo.
Ia tidak bisa membendung jaring-jaring intelijen Ali yang kemudian mempercepat keruntuhan Soekarno.
Namun, Ahmad Soekendro masih mencoba berupaya mempertahankan kekuasaan Soekarno.
Apa yang disebut mantan Dubes Kuba dan teman dekat Soekarno, AM Hanafi, dalam biografinya memperlihatkan upaya Ahmad Soekendro.
Pada 11 Maret 1966, Presiden diikuti para waperdam yang tergopoh-gopoh menuju Bogor karena takut dengan Pasukan Kemal Idris.
Brigjen Ahmad Soekendro menyarankan AM Hanafi untuk mengejar presiden dan terus menempel padanya di mana pun juga Soekarno berada.
“Jangan tinggalkan Bapak sendirian,” kata Brigjen Ahmad Sukendro.
Sepertinya insting intelijen Brigjen Ahmad Soekendro masih cukup tajam untuk membaca arah zaman.
Sayang, AM Hanafi tak bisa melakukan perintahnya karena tak kebagian helikopter pada hari itu.