Akses berita terupdate se-indonesia lewat aplikasi TRIBUNnews

Menelusuri Jejak Perjalanan Wayang Potehi, Tradisi dari Abad 16 yang Menolak Tuk Menyerah pada Zaman

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wayang Potehi

Universal

Kelompok Lima Merpati bermarkas di Jl Duku 23, Kelurahan Ngamplungan, Kecamatan Pabean Cantikan, Surabaya.

Mereka menganggap wayang potehi tak hanya sebagai pertunjukan keagamaan, tapi juga seni universal.

"Saya sendiri muslim dan menggeluti wayang potehi karena senang dan menganggap sebagai seni universal. Banyak filsafat indah dan berharga yang disampaikan dalam ceritanya," jelasnya.

"Cerita yang kami mainkan memang dari Tiongkok. Isinya banyak mengandung filsafat kebaikan," lanjut Mulyanto.

(grid.id)

 Di kelompok Lima Merpati, kini ada 5 personil yang giat memainkan dan melestarikannya.

Selain Mulanto ada dalang senior Mujiono, Edi Sutrisno, Tan Khee Swie, dan Haryanto.

Biasanya semuanya bisa mendalang, apalagi setiap pertunjukkan dibutuhkan 2 dalang untuk memainkan wayang.

Sedangkan personil lainnya memainkan alat musik dong ko, sio lo, twa lo, seruling, teo yam (rebab) dan Er Hu (rebab besar).

Untuk sekali tanggapan bervariasi, sekitar Rp 4 juta per penampilan.

"Untuk mendatangkan kelompok Lima Merpati, kami mengeluarkan biaya sekitar Rp 48 juta untuk tampil selama 10 hari," kata Agus Hartono, pengurus klenteng Tien Kok Sie.

Wayang potehi biasanya digelar untuk menghibur dewa atau dewi tuan rumah klenteng.

Demikian juga, kehadiran Lima Merpati di klenteng Tien Kok Sie untuk menghibur tuan rumah klenteng, dewa Kwan She Im Poo.

Menolak mati

Perjalanan wayang potehi di Indonesia memang penuh aral melintang.

Halaman
1234