TRIBUNTRAVEL.COM - Tanpa tepuk tangan atau sorak, wayang potehi terus berusaha tegak berdiri dan berarti.
Lelaku atau perjalanan kreatif dan ideologinya mungkin nyaris dilupakan.
Namun, produk budaya China yang juga merasuk dalam perjalanan budaya di Indonesia ini tetap berusaha bergerak, meski harus melewati jalan sunyi dan sepi.
Hanya ada sekitar 30 penonton ketika kelompok wayang potehi dari Surabaya, Lima Merpati, tampil di klenteng Tien Kok Sie di kawasan Pasar Gede, Surakarta, Selasa (31/7/2018).
Selama 10 hari berturut-turut mereka ditanggap di situ dan selalu bermain dengan penuh semangat sejak pukul 19.00 sampai 22.00 WIB.
"Kami sudah biasa dengan penonton sedikit, tapi kami selalu bermain dengan semangat," kata satu dalang wayang Potehi Lima Merpati, Mulyanto.
Mulanto mengatakan, wayang potehi memang ibarat sedang sekarat.
Kini, di Indonesia kemungkinan tinggal 3 kelompok yang masih setia memainkannya.
"Setahu saya di Semarang sudah mati, setelah tokohnya yang juga guru kami, Teguh Candra Irawan atau Thio Tiong Gie, meninggal dunia," jelas Mulyanto.
Setahu dia, selain Lima Merpati, dua kelompok wayang potehi yang masih eksis adalah Fuk Hok An di Jombang dan satu kelompok di Universitas Indonesia.
Wayang potehi biasa ditanggap di klenteng-klenteng sebagai bagian dari laku spiritual pun laku budaya.
Sedangkan sebagai pertunjukkan murni sangat minim.
Ditambah lagi, regenerasi wayang potehi sangat sulit.
Sehingga, wajar jika wayang potehi yang muncul di Indonesia sejak abad ke-16 itu semakin hari semakin kesulitan untuk eksis.
"Kalau kami sejak tahun 1970-an aktif bermain, baik di klenteng kami maupun melayani tanggapan dari berbagai daerah di Indonesia. Kami sering bermain di Sukabumi, Bali, Probolinggo dan sebagainya," kata Mulyanto.