Karena mayoritas etnis Betawi beragama Islam, tentu minuman itu sangat dilarang.
Mereka kemudian berusaha mencari bahan untuk membuat minuman yang sama namun tanpa rasa alkohol.
Anak muda Betawi segera melakukan berbagai eksperimen dengan fermentasi dan ekstrasi buah.
Namun tak berhasil.
Selanjutnya mereka mencoba menggunakan rempah sebagai bahan utama.
Mereka kemudian menemuka kombinasi yang sempurna antara jahe dan serai.
Sebagai tambahan mereka juga menambahkan pandan untuk memberikan aroma yang lebih menyegarkan.
Untuk penyajian, ada dua opsi pilihan, yakni, dingin dan hangat.
Pada masa itu banyak orang lebih suka penyajian yang dingin karena lebih menyegarkan.
Warna merah dari bir mereka dapat karena menggunakan ekstraksi sepang.
Pada zaman modern, minuman ini memiliki beberapa varian rasa seperti cengkeh, pala, kayu manis, dan kapulaga.
Nama pletok sendiri berasal dari onomatopoeia.
Ketika bir pletok dituangkan ke dalam gelas, ada sedikit bunyi popa.
Sebagian besar, orang berpikir bahwa rasanya akan pahit atau asam seperti bir asli.
Namun, kenyataannya memiliki rasa manis dan hangat di dalam usus.
Selain itu, tidak ada sensasi menggigit soda di lidah.
Juga dipercaya bahwa minuman ini sangat baik untuk kesehatan tubuh karena karena menggunakan rempah.
Hingga saat ini, bir pletok terus dilestarikan sebagai warisan budaya.
Biasanya disajikan sebagai minuman sambutan dalam perayaan seperti pernikahan.