Laporan Wartawan TribunTravel.com, Ambar Purwaningrum
TRIBUNTRAVEL.COM - Ketika agama Buddha menyebar di negara-negara Asia selama berabad-abad yang lalu, berbagai bentuk aliran dan ajaran Buddha muncul.
Terutama ketika agama bersentuhan dengan banyak budaya lokal.
Beberapa biksu Budha mengamati bahwa semua kehidupan adalah suci, dan sekolah mereka mengajarkan para pengikut untuk bergerak di sekitar kuil dengan sangat hati-hati.
Mereka tidak boleh secara sengaja menginjak semut atau serangga kecil lainnya.
Namun, sekolah dan pengajaran lain mengadopsi keyakinan dan praktik yang agak aneh, seperti belajar cara membuat diri sendiri untuk mencapai tingkat pencerahan lanjut.
Cara untuk bisa mencapai pencerahan itu cukup mengerikan, dimana mereka harus melakukan mumifikasi pada diri mereka sendiri.
Mumifikasi ini banyak dilakukan di Prefektur Yamagata di bagian utara Jepang.
Prakteknya dimulai pada abad ke-11 dan berlangsung hingga abad ke-19, ketika pemerintah Jepang memutuskan untuk menghentikannya.
Meski terbilang ekstrim dan sudah dilarang, namun mumifikasi tetap saja masih saja dipraktekkan.
Dilansir TribunTravel.com dari laman thevintagenews.com, praktek mumifikasi pertama kali dilakukan oleh seorang biarawan yang dikenal sebagai Kūkai, pendiri sekolah Buddha Shingon pada awal abad ke-9.
Dua abad setelah Kūkai meninggal, hagiografinya muncul dan mengatakan bahwa dia belum meninggal melainkan memakamkan dirinya sendiri dalam keadaan meditasi khusus.
Setelah kemunculannya kembali, jutaan tahun di masa depan, dia akan membantu orang lain naik ke keadaan nirvana, begitu isi dari hagiografinya.
Para biarawan Yamagata Shingon yang membaca hagiografi itu tentu saja langsung menjalankannya.
Mereka mulai mengikuti ajaran Kukai untuk melakukan mumifikasi atau yang biasa dikenal dengan sebutan Sokushinbutsu.