Tak tanggung-tanggung, para wanita ini memegang parang sambil menggendong bayi mereka di punggung.
Ketua adat desa ini pun wanita perempuan berusia 26 tahun, seorang ibu dari empat anak.
Suara anak-anak bermain terdengar di setiap rumah yang dibangun ibu mereka sendiri.
Anak-anak ini kebanyakan lahir dari rahim remaja yang diperkosa oleh para tentara dari kelompok gerilyawan lokal.
Di usianya yang masih sangat muda, anak-anak di La Puria sudah terpapar situasi perang.
Tahun 2017 lalu, selama kegiatan terapi seni di sekolah desa, hampir semua anak-anak menggunakan pensil warnanya untuk menggambar dan mewarnai orang-orang yang membawa senjata api.
Untuk pertama kalinya sejak tahun 1960, konflik akhirnya selesai.
Meskipun pada 2016, referendum sipil menolak perjanjian damai antara FARC dan pemerintah Kolombia.
Namun perjanjian ini direvisi dan diratifikasi kembali beberapa bulan kemudian.
Jalan menuju perdamaian memang belum pasti tapi setidaknya gencatan senjata masih dilakukan.
Sayangnya, setelah perang terhenti, masyarakat La Puria tetap diabaikan oleh negara.
Tanpa bantuan pemerintah di bidang kesehatan dan pelayanan umum, gizi buruk serta sanitasi yang layak, menambah tantangan yang harus mereka hadapi pascakonflik Kolombia.
“Saya merasa konsekuensi perang masih berlanjut,” ujar Ivan.
Meskipun begitu, Ivan melihat sedikit cahaya di sana.
Ia terkesima dengan semangat hidup orang-orang La Puria.