TRIBUNTRAVEL.COM - Ribuan warga berebut empat buah gunungan hasil bumi dan satu nasi kuning tumpeng dalam Grebeg Suro.
Tradisi menyambut tahun baru Hijriah ini berlangsung di Pondok Pesantren Girikusumo, Desa Banyumeneng, Mranggen, Demak, Rabu (29/7/2022).
Empat buah gunungan tersebut berisi beraneka ragamhasil bumi.
Mulai dari sayuran dan buahan seperti wortel, tomat, kacang panjang, kakung, sawi, bayam, buah naga, pisang, apel dan jeruk.
Di atas gunungan tersebut ditancapkan uang kertas mulai dari Rp 2ribu hingga Rp20 ribu.

Baca juga: Tradisi Perang Ketupat Malam Satu Suro di Ungaran Ditiadakan, Tahun Ini Diganti Doa Bersama
Baca juga: 7 Tradisi Unik Menyambut Tahun Baru Islam di Indonesia, Ada Kirab Kebo Bule di Solo
Sebelumnya, gunungan tersebut dikirab dari ponpes menuju mushola melalui rumah-rumah warga dan kembali lagi ke ponpes.
Antusiasme warga yang menonton begitu tinggi, mulai dari kirab hingga ke puncak acara berebut gunungan.
Warga bahkan sudah berkumpul sejak pagi untuk memperebutkan gunungan dan tumpeng.
Para warga meyakini, perebutan gunungan tersebut bisa mendatangkan berkah bagi warga yang mendapatkan.
Sebelum gunungan diperebutkan, gunungan dan tumpeng tersebut didoakan oleh pengasuh ponpes Girikusumo, KH Muhammad Munif Zuhri.
Usai di doakan para warga dan santri langsung berebut. Ada yang menaiki gunungan juga ada yang saling dorong-dorongan.

Baca juga: Jadwal dan Rute Kirab Pusaka Malam 1 Suro Keraton Kasunanan Surakarta
Baca juga: Terpapar PMK, 7 Kebo Bule Keturunan Kyai Slamet Tak Diizinkan Ikut Kirab Malam Satu Suro
"Senang, Alhamdulillah saya dapat uang Rp2ribu sama kangkung. Uangnya buat jajan, terus kangkungnya mau dimasak," ucap Muhammad Rifki Prayoga santri yang berasal dari Palembang.
Saat ia merebut gunungan tersebut merasa sulit karena banyak warga yang menyerbu gunungan tersebut.
"Susah mas, peci sama sandal sempat hilang. Sandalnya balik, pecinya engga tapi senang Alhamdulillah. Rezekinya ini," ucapnya kepada Tribunjateg.com.
Sementara itu, Panitia Grebeg Suro, Hanif Maimoen atau yang akrab disapa Gus Hanif menjelaskan gunungan yang dikirab tersebut memiliki makna dan filosofinya.
"Filosofinya adalah bersedekah. Gunungan tersebut berisi hasil palawija, sayur mayur. Ini sebagai bentuk dan doa dengan harapan selama satu tahun kedepan para warga masyarakat bisa mendapatkan keberkahan dari sedekah tersebut," jelasnya. (Rad)
Tradisi Perang Ketupat Malam Satu Suro di Ungaran Ditiadakan
Lempar-lemparan atau perang ketupat pada malam satu suro atau 1 Muharram menjadi tradisi Warga Sidomulyo, Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Namun, tahun ini tradisi tersebut tak dilaksanakan.
Dikutip dari TribunJateng, Sabtu (30/7/2022), menurut Mudin Desa Sidomulyo, Maksun, hal tersebut dianggap mubazir atau tidak berguna lantaran membuang-buang makanan.
“Ya daripada dilempar-lemparkan mending kita makan aja,” ungkapnya kepada tribunjateng.com, Jumat (29/7/2022) petang.
Dengan tidak adanya perang ketupat, maka tradisi peringatan malam satu suro tahun ini diisi dengan doa bersama sebelum azan magrib.
Acara kemudian makan bersama setelah magrib.
Baca juga: Semarak Jenang Sala 2022 Berlangsung di Keraton Surakata, Dimeriahkan Kirab hingga Atraksi Prajurit
Ratusan warga setempat yang masing-masing membawa makanan seperti ketupat, sayur mayur, buah-buahan dan masakan lain berramai-ramai duduk dan berdoa di trotoar dan di tengah Jalan Letjend Suprapto.
Pelaksanaan doa dipimpin oleh mudin dan empat orang perangkat desa setempat.
Keempat perangkat desa itu melantunkan azan dan menghadap ke masing-masing penjuru, yakni utara, selatan, timur dan barat.
Warga atau peserta duduk di trotoar dan mengikuti prosesi tersebut.
“Maknanya yaitu mengusir keburukan dan mengharap kesejahteraan bagi warga.
Acara ini dinamai Tolak Balak, artinya menolak keburukan.
Baca juga: Kalender Event Yogyakarta Juni 2022, Meriahnya Festival Perahu Naga hingga Kirab Agung
Kalau lempar-lemparan itu sebelumnya dimaknai membuang setan atau hal-hal jelek, jadi makanan disimbolkan sebagai setan yang harus dibuang,” imbuh Maksun.
Sebagai informasi, tradisi tersebut telah dilakukan turun temurun dan rutin setiap Tahun Baru Islam.
Pengumuman atau panggilan untuk warga dilakukan dengan membunyikan tiang listrik yang dipukul.
Hal itu berarti saatnya ratusan warga desa, dari anak-anak, remaja hingga orang tua, baik laki-laki maupun perempuan, semuanya turun ke jalan membawa ketupat dan sayur.
Puncak acaranya sendiri pada umumnya adalah perang ketupat.
Semua warga saling melempar ketupat dan makanan tersebut.
Maksun menerangkan bahwa tidak digelarnya perang ketupat itu sejak munculnya wabah Covid-19.
Bahkan, dalam kurun waktu dua tahun terakhir, masyarakat setempat juga tidak berkumpul dan menggelar doa bersama.
Seorang warga setempat, Muryani (60), merasa senang lantaran kegiatan itu bisa disenggelerakan kembali 2022 ini.
“Ya senang akhirnya bisa kumpul-kumpul lagi, meskipun tidak ada lempar-lemparan, ya. Padahal perang ketupat itu seru juga sebenarnya,” ujarnya. (*)