TRIBUNTRAVEL.COM - Para ilmuwan sering kali melakukan eksperimen yang membuahkan hasil mengejutkan.
Seperti baru-baru ini viral, tim ilmuwan berhasil melakukan eksperimen menangkap sinar matahari di luar angkasa.
Untuk memanennya, ilmuwan menggunakan panel surya seukuran kotak pizza di luar angkasa.
Panel tersebut memang dirancang sebagai prototipe sistem masa depan untuk mengirim listrik dari luar angkasa kembali ke titik mana pun di Bumi.
Seperti dikutip dari CNN, Rabu (24/2/2021) panel yang dikenal sebagai Photovoltaic Radiofrequency Antenna Module (PRAM) ini pertama kali diluncurkan pada Mei 2020.
PRAM dipasang pada pesawat tak berawak X-37B Pentagon untuk memanfaatkan cahaya dari matahari untuk diubah menjadi listrik.
Baca juga: Ilmuwan Temukan Planet Super-Earth yang Diprakirakan Berusia 14 Miliar Tahun

Pesawat tak berawak itu kemudian memutari Bumi setiap 90 menit.
Panel ini dirancang untuk memanfaatkan cahaya di luar angkasa yang tak melewati atmosfer sehingga mempertahankan gelombang biru.
Hal tersebut menjadikannya lebih kuat dibandingkan sinar matahari yang telah mencapai Bumi.
"Kami mendapatkan banyak sinar matahari ekstra di luar angkasa karena ini," kata Paul Jaffe, salah satu pengembang dalam proyek ini.
Eksperimen terbaru menunjukkan PRAM mampu menghasilkan sekitar 10 watt energi untuk transmisi.
Itu cukup untuk memberikan daya pada komputer tablet.
Namun jumlah panel yang akan dikembangkan tentu saja tak hanya satu.
Proyek ini berencana untuk menambah hingga lusinan panel.
Jika ditingkatkan keberhasilannya, bukannya tak mungkin juga suatu hari nanti akan merevolusi cara menghasilkan listrik.
Panel memang belum benar-benar mengirim daya langsung kembali ke Bumi, tetapi teknologinya telah terbukti.
Jika panel dapat berkembang menjadi antena surya antariksa berkilo meter yang sangat besar, maka panel dapat memancarkan gelombang mikro yang kemudian akan diubah menjadi listrik bebas bahan bakar dan didistribusikan ke pelosok dunia manapun dalam sekejap.
"Keunggulan unik yang dimiliki satelit tenaga surya adalah transmisi global. Contohnya Anda dapat mengirim listrik ke Chicago dalam sepersekian detik," papar Jaffe.
Selain itu juga membangun di luar angkasa lebih menguntungkan karena benda-benda tetap berada di tempatnya.
Sementara di Bumi akan mengalami gangguan gravitasi sehingga akan bermasalah saat membangun benda-benda yang sangat besar karena harus menopang beratnya sendiri.
Tetapi, faktor yang perlu dipertimbangkan untuk mengembangkan panel ini tentu saja adalah biayanya yang besar.
"Membangun perangkat keras di luar angkasa itu mahal," tambah Jaffe.
Pada Januari lalu, Jaffe dan PRAM co-leader Chris DePuma, merilis hasil pertama dari eksperimen mereka di IEEE Journal of Microwaves yang menunjukkan eksperimen tersebut berhasil.
Proyek ini telah didanai dan dikembangkan di bawah Pentagon, Operational Energy Capability Improvement Fund (OECIF) dan US Naval Research Laboratory di Washington, DC.
Langkah selanjutnya
Saat ini ilmuwan tengah memastikan jika PRAM bekerja dengan baik.
Suhu di mana fungsi PRAM adalah kuncinya.
Elektronik yang dingin menurunkan kemampuannya untuk menghasilkan tenaga saat memanas.
Hal tersebut membuat ilmuwan berencana untuk menempatkan PRAM di orbit geosynchronous, di mana perangkat tersebut sebagian besar berada di bawah sinar matahari karena bergerak lebih jauh dari Bumi.
Sekarang PRAM menghabiskan sekitar setengah dari setiap putarannya dalam kegelapan dan cuaca dingin.
Sebagai langkah untuk menempatkan PRAM pada orbit baru, ilmuwan kemudian melakukan eksperimen dengan menggunakan pemanas untuk menjaga suhu hangat yang konstan serta membuktikan seberapa efisiennya jika panel berputar 36.000 kilometer dari Bumi. Dan itu berhasil.
"Langkah logis berikutnya adalah meningkatkannya ke area yang lebih luas untuk mengumpulkan lebih banyak sinar matahari dan mengubahnya menjadi gelombang mikro," kata Jaffe.
Selain itu, ilmuwan juga harus menguji pengiriman energi kembali ke Bumi.
Ilmuwan harus memastikan panel tahu persis ke mana harus mengirim gelombang mikro dan penerima siap untuk menerimanya.
Dengan teknologi ini pula, ilmuwan berharap dapat segera diterapkan pada wilayah yang terdampak bencana alam.
"Jadi jika Anda memiliki sistem seperti ini, Anda dapat mengarahkan ke wilayah yang terkena bencana," pungkas DePuma.
Baca juga: Temuan Mengejutkan Para Ilmuwan, Ada Dunia Tersembunyi di Bawah Es Antartika
Baca juga: Ilmuwan Temukan Fosil Jamur Berusia 635 Juta Tahun yang Bantu Ungkap Awal Kehidupan
Baca juga: Sempat Bingungkan Ilmuwan, Misteri Zona Gelap yang Meluas di Greenland Akhirnya Terpecahkan
Baca juga: Ilmuwan Ungkap Temuan Mengejutkan Tentang Mineral Mars yang Terkubur di Antartika
Baca juga: Mengulik Rahasia Gunung Padang di Jawa Barat yang Buat Ilmuwan Terpikat
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ilmuwan Berhasil Panen Sinar Matahari di Luar Angkasa".