TRIBUNTRAVEL.COM - Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap 2 Mei selalu identik dengan tokoh Bapak Pendidikan Bangsa Indonesia yaitu Ki Hadjar Dewantara.
Semboyan 'ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani ' yang dikenalkan Ki Hadjar Dewantara pun menjadi ajaran yang dipakai oleh Pendidikan Indonesia.
Dimana mengandung arti, di depan memberi teladan, di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa, dan di belakang memberikan dorongan.
Ki Hadjar Dewantara tidak berjuang sendirian untuk memperjuangkan pendidikan bagi rakyat Indonesia.
Ada dua tokoh sejarah yang juga turut membantu perjuangan KI Hadjar Dewantara meski namanya tidak begitu populer seperti Ki Hadjar Dewantara.
Tonton juga:
• Kenang Perjuangan Ki Hadjar Dewantara di Museum Dewantara Kirti Griya Taman Siswa Yogyakarta
• Pilot dan Karyawan Garuda Indonesia Bantah Akan Lakukan Aksi Mogok Kerja
Mereka adalah HOS Cokroaminoto dan Raden Ayu Lasminingrat.
HOS Cokroaminoto merupakan pendiri Serikat Islam dan guru dari Presiden pertama Soekarno.
Bahkan sejak berusia 15 tahun, Soekarno sudah diberi beragam bacaan 'berat' oleh Cokroaminoto.
Dari sinilah, Soekarno muda belajar bahwa ilmu itu tidak terbatas.
Ada satu kata mutiara yang Cokroaminoto jadikan prinsip dan ditanamkan dalam-dalam pada jiwa anak didiknya yaitu 'Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat'.
Lebih dari itu, Cokroaminoto juga mendorong muridnya untuk berpikir kritis.
Beliau memberi ruang eksplorasi ide tanpa batas, sehingga anak didiknya terlatih untuk mampu melihat suatu hal dari bermacam-macam sudut pandang.
Tidak mengherankan jika dari tangan Cokroaminoto, lahirlah tokoh-tokoh nasional yang meresapi ideologi berbeda.
Berbeda dengan HOS Cokroaminoto, Raden Ayu Lasminingrat merupakan tokoh perempuan intelektual pertama di Indonesia jauh sebelum RA Kartini lahir.
Selain menulis karyanya sendiri, dia juga banyak menerjemahkan buku-buku anak sekolah dari Bahasa Belanda ke Bahasa Sunda, baik menggunakan aksara Jawa maupun Latin.
Hal itu tidaklah aneh mengingat Lasminingrat memang sempat diasuh teman Belanda ayahnya, Levyson Norman.
Lasminingrat juga menjadi perempuan pribumi satu-satunya yang mahir dalam menulis dan berbahasa Belanda pada masa itu.
Setelah menikah dengan Bupati Garut RAA Wiratanudatar VIII, Lasminingrat memilih pensium dari dunia kesusastraan dan fokus kepada pendidikan perempuan.
Pada 1907, Lasminingrat mendirikan sekolah Keutamaan Istri.
Sekolah ini dianggap cukup maju karena sudah menggunakan sistem kurikulum.
Materi pembelajaran diarahkan pada keterampilan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan menjahit.
Dia berharap, setelah menikah, muridnya telah pandai mengurus suami dan mendidik anak-anak.
Dalam kurun empat tahun, jumlah murid Keutamaan Istri tumbuh menjadi sekitar 200 orang.
Lalu, 15 ruang kelas dibangun seluruh murid dapat tertampung.
Pada 1913, sekolah ini bahkan mendapat pengakuan resmi dari Pemerintah Hindia Belanda.
Sejarah juga mencatat, Lasminingrat adalah tokoh di balik pendirian Sakola Istri asuhan Dewi Sartika.
Jika Dewi Sartika disebut-sebut sebagai tokoh pendidikan, maka tidak berlebihan jika Lasminingrat didaulat sebagai tokoh perempuan intelektual pertama Indonesia.
• Di Kabupaten Magelang, Warga Sambut Ramadan dengan Perang Air
• 6 Mei, Citilink Terbang Perdana ke Bandara Internasional Yogyakarta
• Peringati Hari Pendidikan Nasional, Coba Konsumsi 7 Makanan Ini untuk Tingkatkan Kecerdasan
• Diskon Tarif MRT Sebesar 50 Persen Diperpanjang hingga 12 Mei 2019
• Larangan-larangan Selama Bulan Ramadan di Kota Banda Aceh
(TribunTravel.com/ Ratna Widyawati)