TRIBUNTRAVEL.COM - Sulawesi Utara tak hanya dikenal dengan keindahan pantainya yang memukau.
Di balik hamparan laut biru, Sulawesi Utara juga menyimpan pesona alam lain yang tak kalah menawan — air terjun, perbukitan hijau, hingga danau yang penuh cerita.
Baca juga: Pantai Paal & 4 Destinasi Alam di Likupang, Minahasa Utara, Sulawesi Utara

Baca juga: Liburan ke Air Terjun Tunan, Wisata Hidden Gem di Minahasa Utara, Sulawesi Utara
Salah satunya adalah Danau Tondano, kebanggaan masyarakat Minahasa yang menyimpan legenda tentang cinta, sumpah, dan kutukan alam.
Bagi kamu yang sedang berada di Kota Manado, jarak menuju Danau Tondano sekira 42,4 kilometer atau kurang lebih 1 jam 27 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor.
Baca juga: Menikmati Sunset di Taman Doa Bukit Berbunga Warembungan, Pineleng, Minahasa, Sulawesi Utara
Baca juga: Kolam Luis Pinori Sukur Minahasa Utara, Wisata Air Alami Sejernih Air Mineral
Danau Tondano terletak di Kabupaten Minahasa, dan menjadi destinasi favorit wisatawan lokal maupun luar daerah.
Tak hanya menawarkan keindahan panorama alam yang dikelilingi perbukitan dan gunung, Danau Tondano juga punya peran penting sebagai sumber air dan bahan baku untuk pembangkit listrik di Sulawesi Utara.
Namun di balik pesonanya, Danau Tondano menyimpan sebuah kisah legendaris yang hidup turun-temurun di tengah masyarakat Minahasa.
Baca juga: 7 Tempat Wisata Terbaik di Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara: Eksotis, Alami, dan Jarang Tersentuh
Awal Mula Kisah Dua Tonaas
Legenda ini berkisah tentang dua pemimpin besar atau Tonaas, yang menguasai wilayah utara dan selatan.
Keduanya dikenal sebagai Tonaas Utara dan Tonaas Selatan, dua tokoh yang disegani namun sering berselisih.
Persaingan di antara mereka bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga kehormatan dan pengaruh di mata rakyat.
Tonaas Utara memiliki seorang anak perempuan bernama Marimbaouw, sementara Tonaas Selatan mempunyai anak laki-laki bernama Maharimbouw.
Sebagai satu-satunya keturunan, Marimbaouw dihadapkan pada kenyataan bahwa pewaris tahta seharusnya seorang laki-laki.
Demi mempertahankan kehormatan keluarga dan memenuhi harapan ayahnya, Marimbaouw pun rela menyamar menjadi pria.
Ia belajar bertarung, memimpin, dan berbicara layaknya laki-laki.
Tak hanya itu, ia juga bersumpah tidak akan menikah agar bisa meneruskan jabatan ayahnya sebagai pemimpin.
Namun, nasib tak pernah bisa ditebak.
Di balik penyamaran itu, takdir mempertemukannya dengan seseorang yang kelak mengubah segalanya — Maharimbouw, anak dari Tonaas Selatan yang menjadi rival keluarganya.
Cinta yang Tak Bisa Dihindari
Suatu hari, Marimbaouw tersesat di tengah hutan saat berburu.
Di sanalah ia bertemu Maharimbouw, yang kemudian menangkapnya karena mengira ia adalah musuh dari wilayah utara.
Namun, saat topeng penyamarannya terbuka, Maharimbouw justru tertegun melihat wajah cantik Marimbaouw.
Dari pertemuan itulah benih cinta tumbuh di antara keduanya.
Dua insan yang berasal dari keluarga berseteru justru saling jatuh hati.
Meskipun mereka tahu hubungan itu dilarang dan penuh risiko, cinta tak dapat dibendung.
Sekembalinya ke wilayah masing-masing, hati mereka tetap terikat.
Hari demi hari, perasaan itu makin dalam hingga akhirnya Maharimbouw memberanikan diri untuk meminang Marimbaouw.
Namun, lamaran itu ditolak karena sumpah yang telah diucapkan Marimbaouw — sumpah untuk tidak menikah seumur hidup demi tahta ayahnya.
Cinta akhirnya mengalahkan segalanya. Keduanya nekat menikah diam-diam, menentang sumpah dan restu keluarga besar.

Murka Alam dan Kutukan yang Mengubah Segalanya
Keputusan itu membawa konsekuensi besar.
Menurut legenda, alam murka atas pelanggaran sumpah yang dilakukan Marimbaouw.
Gunung besar di wilayah Minahasa meletus dahsyat, mengguncang seluruh permukaan tanah.
Lava dan hujan deras menggenangi lembah-lembah di sekitar wilayah mereka.
Dari bencana besar itulah kemudian terbentuk sebuah danau luas yang kini dikenal sebagai Danau Tondano.
Warga percaya, air danau itu merupakan simbol kesedihan alam atas sumpah yang dilanggar karena cinta.
Meski terdengar tragis, kisah ini dianggap sebagai simbol keseimbangan antara cinta, kekuasaan, dan konsekuensi.
Legenda tersebut juga menggambarkan kearifan lokal masyarakat Minahasa yang percaya bahwa alam selalu memiliki cara untuk menegur manusia ketika keseimbangan terganggu.
Makna di Balik Legenda
Bagi masyarakat Minahasa, legenda terbentuknya Danau Tondano bukan sekadar dongeng pengantar tidur.
Kisah ini menjadi pelajaran moral tentang pentingnya janji dan kesetiaan terhadap tanggung jawab.
Di sisi lain, kisah Marimbaouw dan Maharimbouw juga menggambarkan kekuatan cinta yang bisa melampaui batas kasta dan permusuhan.
Kini, di tepian Danau Tondano, banyak warga masih menuturkan cerita ini kepada anak-anak mereka.
Para tetua kampung percaya, selama kisah ini diceritakan, semangat kearifan lokal Minahasa akan terus hidup di tengah masyarakat modern.
Keindahan Danau Tondano bukan hanya terletak pada pemandangannya yang menawan, tapi juga pada kisah cinta abadi di balik permukaannya.
Saat kamu berdiri di tepi danau, menyaksikan matahari tenggelam di balik gunung, seolah gema cinta Marimbaouw dan Maharimbouw masih berbisik lembut di udara Minahasa.
(Ambar/TribunTravel) (TribunManado)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.