“Dari komunitas saya belajar pentingnya identitas lokal dan bagaimana memasarkan produk tanpa menghilangkan ciri khas budaya,” jelasnya.
Untuk proses produksi, Anita masih turun tangan langsung dalam mendesain. Ia dibantu oleh beberapa penjahit dalam penyelesaian produk.
Bahkan, sisa kain atau limbah produksi tak dibiarkan terbuang percuma. Ia berusaha menerapkan konsep zero waste.
“Potongan kecil kain kami olah kembali jadi aksesori seperti topi, tas, atau bros. Semua tetap ada nilai pakainya,” ujar Anita.
Produk Eksklusif dan Penjualan Personal
Dalam menjaga kualitas, Anita memilih sistem penjualan by order, bukan produksi massal.
Ia juga tidak terlalu mengandalkan platform marketplace.
“Kami ingin menjaga eksklusivitas. Setiap desain punya nilai seni, dan itu harus dijaga. Tidak bisa diperlakukan seperti produk pabrikan biasa,” tegasnya.
Dengan tagline “Merawat Karya Agung Leluhur”, Anita berharap setiap produknya bisa menjadi bagian dari pelestarian budaya, khususnya kain lurik sebagai simbol lokalitas Klaten.
Hadapi Tantangan dengan Semangat Inklusif
Meski telah menorehkan banyak prestasi, Anita tak menampik tantangan yang masih dihadapinya.
Salah satunya adalah mindset masyarakat yang masih cenderung memilih produk massal dengan harga murah tanpa memikirkan proses di baliknya.
“Produk kami mungkin tidak murah, tapi ada proses panjang, tenaga, dan nilai budaya di dalamnya. Itu yang ingin kami edukasikan,” kata Anita.
Di balik semua itu, Anita juga punya misi sosial.
Ia terbuka untuk melibatkan kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, dalam proses produksi.