TRIBUNTRAVEL.COM - Menyambut datangnya Tahun Baru Islam 1447 Hijriah yang jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025, masyarakat Yogyakarta kembali menggelar tradisi tahunan yang sarat makna spiritual dan budaya, yaitu Lampah Budaya Mubeng Beteng.
Tradisi ini dilaksanakan setiap malam 1 Suro, atau malam tahun baru dalam penanggalan Jawa.
Baca juga: Itinerary Seharian ke Jogja Naik KRL, Cara Asyik Liburan Sekolah Anti Boros
Baca juga: Itinerary 1 Day Trip Jogja Kids Friendly, Kunjungi Taman Pintar hingga Gembira Loka Zoo
Di tahun ini, Mubeng Beteng akan dilaksanakan pada Kamis malam, 26 Juni 2025, dan akan dimulai pukul 23.00 WIB.
Dikutip dari akun resmi Keraton Yogyakarta di @kratonjogja, Mubeng Beteng adalah bagian dari prosesi Hajad Dalem yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun selama lebih dari dua abad oleh keluarga Keraton.
Baca juga: Itinerary 1 Hari Jogja dari Solo: Traveling Akhir Pekan Rp 260 Ribuan Keliling Malioboro & Keraton
Baca juga: Libur Sekolah Main ke Jakarta, Tiket Pesawat Murah dari Jogja Mulai Rp 638 Ribu
Prosesi akan dimulai dari Bangsal Ponconiti, Kompleks Kamandungan Lor (Keben), dan diikuti oleh ribuan peserta, mulai dari abdi dalem hingga masyarakat umum.
Makna dan Filosofi Mubeng Beteng: Bukan Sekadar Tradisi, Tapi Perjalanan Jiwa
Secara harfiah, "Mubeng Beteng" berarti mengelilingi benteng.
Tradisi ini dilakukan dengan berjalan kaki tanpa alas, mengitari Benteng Baluwerti Keraton Yogyakarta melawan arah jarum jam, dalam keheningan penuh atau yang disebut dengan tapa bisu.
Langkah-langkah hening ini melambangkan lampah prihatin, yaitu bentuk keprihatinan batin dan refleksi spiritual untuk menyucikan diri dan memohon perlindungan dalam menyambut tahun yang baru.
Berbeda dengan perayaan tahun baru Masehi yang penuh pesta dan kembang api, 1 Suro dalam budaya Jawa dirayakan dengan kesunyian dan perenungan.
Itulah sebabnya peserta dilarang berbicara selama prosesi berlangsung.
Sejarah Mubeng Beteng: Warisan Sejak Era Sultan Hamengkubuwono II
Tradisi Mubeng Beteng memiliki akar sejarah kuat, diperkirakan mulai dilaksanakan sejak era Sri Sultan Hamengkubuwono II yang memerintah pada akhir abad ke-18.
Awalnya, ritual ini hanya dilakukan oleh para abdi dalem atas perintah sultan, sebagai bentuk lampah ratri—perjalanan spiritual malam untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tradisi ini juga terinspirasi dari Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah, yang menjadi simbol perjuangan dan keprihatinan.