Meski kematian terkait turbulensi jarang terjadi, cedera terus bertambah dari waktu ke waktu.
Beberapa ahli meteorologi dan analis penerbangan mencatat bahwa laporan tentang turbulensi semakin meningkat dan menunjukkan potensi dampak perubahan iklim terhadap kondisi penerbangan.
Seperti diberitakan Kompas.tv sebelumnya, penerbangan Singapore Airlines mengalami turbulensi parah di atas Samudra Hindia dan turun 6.000 kaki (sekitar 1.800 meter) dalam waktu sekitar tiga menit, pada Selasa, 21 Mei lalu.
Seorang pria Inggris meninggal dan pihak berwenang mengatakan puluhan penumpang terluka, beberapa di antaranya parah.
Penerbangan Boeing 777 dari bandara Heathrow London ke Singapura, dengan 211 penumpang dan 18 awak di dalamnya, kemudian dialihkan dan mendarat darurat dalam cuaca buruk di Bangkok.
Baca juga: Pramugari Suka Waktu di Mana Pesawat Mengalami Turbulensi, Benarkah?
Apa itu turbulensi?
Sedangkan turbulensi pada dasarnya adalah udara yang tidak stabil yang bergerak secara tidak terduga. Kebanyakan orang mengaitkannya dengan badai besar.
Namun jenis yang paling berbahaya adalah turbulensi udara jernih, yang sering terjadi tanpa tanda peringatan di langit.
Turbulensi udara jernih paling sering terjadi di atau dekat sungai udara di ketinggian tinggi yang disebut jet stream.
Penyebabnya adalah geseran angin, yaitu ketika dua massa udara besar yang berdekatan bergerak dengan kecepatan berbeda.
Jika perbedaan kecepatan cukup besar, atmosfer tidak bisa menangani tekanan tersebut, dan terbentuk pola turbulen seperti pusaran air.
“Ketika terjadi geseran angin yang kuat di dekat jet stream, itu bisa menyebabkan udara berputar. Dan itu menciptakan gerakan kacau di udara,” jelas Thomas Guinn, ketua departemen ilmu penerbangan terapan di Universitas Aeronautika Embry-Riddle di Daytona Beach, Florida.
Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Turbulensi Pesawat Qatar Airways, 12 Penumpang dan Awak Terluka
Baca tanpa iklan