Akses berita terupdate se-indonesia lewat aplikasi TRIBUNnews

Cerita Penumpang Terjebak 7 Jam di Pesawat karena Bandara Kebanjiran

Penulis: Nurul Intaniar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi penumpang terjebak di dalam pesawat selama 7 jam karena bandara kebanjiran, Jumat (27/1/2023).

TRIBUNTRAVEL.COM - Sebuah penerbangan Qantas mengalami kendala karena insiden bandara kebanjiran.

Penumpang Qantas terlihat kebingungan dan terjebak di dalam pesawat yang terparkir di landasan selama 7 jam.

Ilustrasi penerbangan Qantas (Instagram.com/@qantas)

Ava Sycamore, seorang remaja Australia menceritakan kisahnya yang terjebak 7 jam di dalam pesawat kepada ibunya, Renee.

Kepada news.com.au, Renee mengatakan bahwa penerbangan putrinya mengalami kendala karena banjir melanda kawasan Bandara Auckland Australia.

Baca juga: Fitur Rahasia Pesawat yang Bisa Selamatkan Penumpang saat Keadaan Darurat

Sebagai pemain junior elit dengan Federasi Tenis Internasional (ITF), Ava sengaja terbang ke Sydney sehari lebih awal dibanding pemain lain.

Namun sayang rencana penerbangannya menjadi kacau karena faktor cuaca.

Saat itu, Ava memesan penerbangan Qantas QF148, yang dibatalkan setelah penumpang naik ke penerbangan sekira pukul 18:15 waktu setempat pada hari Jumat (27/1/2023).

Seperti diketahui, penerbangan dibatalkan karena keadaan darurat sudah dikeluarkan untuk Kota Selandia Baru akibat hujan lebat yang menyebabkan banjir menggenangi rumah dan area bisnis perkotaan.

Bandara Auckland sendiri kebanjiran sehingga menimbulkan kekacauan bagi penumpang.

Untungnya bagi Ava, dia menemukan sesama pemain junior ITF dan ibunya, Susie Estephan, di penerbangan yang sama.

Karena faktor cuaca, para penumpang terjebak di dalam pesawat selama tujuh jam.

Auckland, Selandia Baru (Flickr/Josefine Hammerby)

Baca juga: Black Box Yeti Airlines Akan Dianalisis di Singapura, Dikirim Langsung dari Nepal

Estephan mengatakan mereka diberitahu pada jam 2 pagi bahwa kru kabin telah kehabisan makanan dan air, sehingga mereka harus turun dari pesawat karena pesawat tidak terbang.

Terlepas dari laporan bahwa penumpang diizinkan keluar dari pesawat untuk meregangkan kaki mereka di garbarata, Estephan mengatakan itu bukan pengalaman mereka.

Dia mengatakan ketika mereka dilepaskan ke terminal, tidak ada staf maskapai yang memberi tahu penumpang ke mana harus pergi, kapan mereka akan terbang lagi atau apakah mereka bisa mendapatkan bagasi mereka.

Setelah beberapa saat, Estephan dan kedua remaja itu pergi ke lounge Qantas untuk mencoba tidur sampai keesokan paginya.

Halaman
123