Ditambah dengan kondisi musim juga akan sangat berpengaruh pada produksi susu yang dihasilkan kerbau rawa itu sendiri.
Biasanya produksi susu kerbau akan melimpah saat musim hujan, karena pada saat ini pakan kerbau akan sangat melimpah.
Tidak hanya itu proses pembuatan gulo puan juga masih sangat tradisional dan memakan waktu cukup lama.
Yaitu mula mula kerbau rawa dicampurkan dengan gula, kemudian dimasak menggunakan api kecil.
Campuran gula dan susu kerbau rawa tersebut selanjutnya harus diaduk terus menerus selama lima jam sampai menjadi karamel.
Gulo puan yang sudah masak tersebut menjadi berwarna cokelat, bertekstur lembut namun sedikit berpasir.
Tidak hanya manis, rasa gulo puan juga ada sedikit gurih dan sering disebut sebagai keju manisnya Indonesia.
Gulo puan biasanya dinikmati untuk campuran minum kopi, teh atau olesan roti dan pisang goreng.
Gulo puan yang diolah secara tradisional ini sangat sulit untuk ditemukan dan harganya mahal.
Biasanya gulo puan hanya dijual oleh beberapa pedagang kaki lima di waktu tertentu saja, yaitu sekitar waktu shalat Jumat di Masjid Agung Kota Palembang.
Atau terkadan dijual di Pasar 26 Ilir Palembang pada Sabtu dan Minggu dengan harga sekitar Rp 100.000 per kilogram (kg).
Favoritnya Bangsawan Zaman Dulu
Berbicara soal cerita zaman dahulu, konon kudapan gulo puan ini menjadi favoritnya para bangsawan di Kesultanan Palembang Darrussalam.
Pada masa itu gulo puan bahkan menjadi semacam upeti dari masyarakat Pampangan, Ogan Komering Ilir (OKI) kepada Sultan Palembang.
Kemudian seiring berkembangnya zaman, gulo puan mulai dikenal masyarakat luas dan menjadi kudapan khas yang hanya bisa ditemui di Palembang.