Prinsip hidup ini sengaja dipegang erat dengan tujuan agar manusia ciptaan Tuhan tidak ketergantungan terhadap satu hal saja.
Tentu dalam hal ini pengaplikasiannya dapat dilihat dari penggunaan singkong sebagai bahan alternatif pengganti beras.
Warga Kampung Adat Cireundeu beralih dari beras sebagai bahan makanan pokok dimulai sekitar 1918.
Pada saat itu juga ajaran Sunda Wiwitan pertama kali dibawa oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan.
Beras singkong (rasi) awal mulanya digagas oleh Ibu Omah Asnamah, Putra Bapak Haji Ali yang kemudian diikuti oleh seluruh warga Kampung Adat Cireundeu.
Berkat inovasinya tersebut pada 1946 Pemerintahan melalui Wedana Cimahi memberikan penghargaan kepada Ibu Omah Asnamah sebagai Pahlawan Pangan.
Karena kepopuleran rasi ini lah kemudian Kampung Adat Cireundeu kemudian dijuluki juga sebagai "Kampung Singkong".
Bahakan nama ini kemudian diperkuat dnegan adanya sebuah patung singkong di depan garbang masuk Kampung Adat Cireundeu.
Sebagai bahan makanan pokok, singkong di Kampung Adat Cireundeu perharinya bisa memproduksi rasi sekitar 5 sampai 7 kuintal.
Menariknya lagi, jika musim kemarau tiba, kuantitas rasi bahkan bisa mencapai 1 ton perharinya.
Produksi rasi yang cukup besar ini didukung oleh luas lahan kebun singkong di Kampung Cireundeu yang mencapai 17 hektar.
Masyarakat Kampung Adat Cireundeu berkeyakinan bahwa tradisi mempertahankan rasi ini nantinya dapat menjawab tantangan swasembada pangan di Indonesia.
Untuk mengolah sendiri beras singkong juga sama dengan menanak nasi pada umumnya.
Sama halnya memakan dengan nasi, warga Kampung Adat Cireundeu sehari-harinya mengkonsumsi rasi bersama lauk pauk dan aneka sayuran.
Sehingga mereka tidak pernah merasa ada perbedaan yang signifikan antara mengkonsumsi nasi ataupun rasi.