Bagaimana Situasi Saat Pandemi?
Sebagai desa wisata, Desa Penglipuran tentu terdampak saat pandemi Covid-19.
Mayoritas warga disini menjual hasil kerajingan tangan untuk dijajarkan kepada para wisatawan.
Dagangan mereka biasanya dijajakan di depan rumah mulai dari penutup kepala khas Bali, kalung, gelang, anyaman bambu, kaus hingga lukisan.
Namun karena pandemi yang berkepanjangan membuat warga kini hanya bergantung dari hasil pertanian.
"Kalau saya selama pandemi paling bikin anyaman bambu saja nanti ada pengepul yang membeli," ucap Nyoman (60) salah seorang warga Desa Penglipuran.
Saat awal pandemi, wisata Desa Penglipuran ini memang ditutup. Wisata di desa terbersih ini baru dibuka kembali sejak Oktober 2020.
Meski belum banyak wisatawan yang datang, protokol kesehatan ketat diterapkan di desa ini.
Di depan pintu masuk Desa Penglipuran disediakan beberapa tempat cuci tangan dan hand sanitizer.
Warga setempat juga memeriksa suhu tubuh kepada wisatawan yang hendak ke Desa Penglipuran.
Selama pandemi ini, tak ada tarif resmi bagi wisatawan yang hendak masuk ke Desa Penglipuran. Hanya kotak sumbangan seikhlasnya yang ditelakan di depan pintu masuk.
Segala protokol kesehatan itu sesuai dengan InDOnesia Care (I DO Care) yang digagas oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (Kemenparekraf).
Nyoman dan para warga di Desa Penglipuran berharap agar pandemi Covid-19 ini cepat berlalu sehingga berdampak pada meningkatnya wisatawan yang berkunjung dan muaranya adalah adanya pemasukan bagi warga setempat.
Di masa pandemi ini, Desa Penglipuran dipilih dalam konser tanpa penonton yang digelar grup band Slank bekerjasama dengan Kemenparekraf.
Dalam konser bertajuk Rhapsody Indonesia yang digelar outdoor tanpa penonton dan menerapkan protokol kesehatan ini bertujuan untuk memotivasi berbagai pihak termasuk sektor wisata yang sangat terdampak pandemi bahwa kita akan bisa melewati tantangan ini.