Desa Penglipuran ini memang dikelilingi oleh kebun bambu milik para warga.
Prawira menjelaskan, di Desa Penglipuran ini tak ada kepengurusan RT maupun RW.
Kepengurusan RT dan RW digantikan dengan sebutan Banjar.
Di bagian depan tiap rumah terpampang jumlah keluarga yang tinggal, lengkap dengan keterangan jenis kelaminnya.
Yang lebih menarik di desa ini, ucap Prawira, bahwa tak diperkenankannya adanya warga yang poligami.
Bila melakukan hal tersebut maka warga yang bersangkutan akan mendapat sanksi sosial hingga tak diperkenankan tinggal di Desa Penglipuran.
TribunJakarta.com yang masuk ke beberapa rumah melihat konsep rumah di Desa Penglipuran seragam.
Di tiap rumah terdapat pura kecil untuk anggota keluarga beribadah.
Filosofinya agar tak ada warga yang menjual rumah mereka.
"Karena pura itu dianggap leluhur mereka. Jadi tidak mungkin orang menjual leluhurnya," kata Prawira.
Selain pura, di depan rumah warga juga terdapat sesaji kecil.
Sesaji kecil itu biasanya terdiri dari bungkusan daun pisang yang diisi beberapa butir nasi. Ada juga aneka kembang yang diletakan.
"Sebutannya nasi saipang karena kita kan makan nasi dan bentuk rada bersyukur kita," ucap Prawira.
Prawira menjelaskan, rumah-rumah di Desa Pelipuran umumnya sama dengan rumah di Bali yakni memiliki bangunan dapur yang terpisah dari bangunan lain.
"Orang Bali kalau ada bayi baru lahir, ari-arinya dikubur di depan dapur. Sebelah kanan untuk ari-ari bayi laki-laki dan kiri untuk perempuan," jelasnya.