Akses berita terupdate se-indonesia lewat aplikasi TRIBUNnews

Tradisi Gredoan, Ajang 'Menggoda' Lawan Jenis untuk Berjodoh ala Suku Osing di Banyuwangi

Penulis: ronnaqrtayn
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Suku Osing di Banyuwangi.

TRIBUNTRAVEL.COM - Status jomblo (jomlo) bagi sebagian orang merupakan status yang tak ingin disandang.

Pasalnya, orang-orang berstatus jomlo atau single sering kali menerima olok-olok di zaman ini.

Bahkan, banyak kreator konten di media sosial yang menjadikan jomlo sebagai konten utama karena 'laku' di kalangan masyarakat.

Nah, bagi traveler yang masih jomlo, mungkin kamu bisa mengikuti satu tradisi mencari jodoh ala suku Osing (Using) di Banyuwangi, yakni tradisi Gredoan.

Gredoan, menurut Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan merupakan tradisi masyarakat suku Osing untuk mencari jodoh.

Baca juga: Makna Mendalam di Balik Tradisi Manene, Ritual Mengganti Pakaian Mayat di Tana Toraja

Tradisi gredoan ini masih terus dilakukan hingga kini, terutama di wilayah Kecamatan Kabat dan Kecamatan Rogojampi.

"Gredo ini artinya menggoda. Ini berlaku buat mereka yang gadis, perjaka, duda dan janda," terang Hasnan.

Tradisi mencari jodoh ala orang Osing ini diadakan pada satu waktu yang sama dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.

"Diadakan bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Biasanya pada malam hari sebelum paginya selamatan di Masjid," lanjut Hasnan.

Hasnan menjelaskan, pada malam sebelum pengajian para gadis membantu orangtuanya memasak di dapur.

TONTON JUGA:

"Nah, pada saat itu laki-laki yang mengincarnya berada di luar rumah dan sang laki-laki memasukkan lidi lewat dinding rumah yang masih terbuat dari gedhek (bambu)," kata Hasnan.

Selanjutnya, lidi akan dipatahkan oleh sang perempuan sebagai tanda bahwa ia mengiyakan ajakan perkenalan dari sang lelaki.

"Kalau sang perempuan mengiyakan perkenalan tersebut, lidinya akan dipatahkan dan mereka akan saling merayu dan ngobrol berdua, tapi dibatasi dengan gedhek, karena memang tabu jika laki-laki dan perempuan berdua-dua tanpa ikatan," tutur Hasnan.

Saat memilih sang perempuan, menurut Hasnan, biasanya sang laki-laki telah mengincar sang perempuan sejak lama.

"Biasanya, laki-laki tersebut sudah mengincar perempuannya untuk dijadikan istri dan berakhir pada lamaran dan pernikahan," jelasnya.

Hingga tahun 2014, tradisi gredoan suku Osing ini masih terus terjaga dan berlangsung dengan sangat meriah.

Ratusan warga di Desa Macanputih ataupun desa-desa lain beramai-ramai mengunjungi Desa Macanputih.

Belum lagi beberapa atraksi yang ditampilkan serta pawai keliling desa yang menampilkan beberapa hiburan, seperti atraksi tarian tongkat api, musik daerah hingga karnaval boneka yang dibuat oleh masyarakat Desa Macanputih.

Dikutip dari Kompas.com, tokoh masyarakat Desa Macanputih, Syaifudin mengatakan, tradisi gredoan merupakan puncak perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw. oleh masyarakat suku Osing di desa setempat.

Suku Osing (Instagram/@embongbanyuwangi)

"Berbagai macam atraksi yang ditampilkan adalah gambaran keanekaragaman sifat manusia di dunia. Ada yang jahat ada pula yang baik. Terlihat dari beberapa boneka yang menggambarkan sifat-sifat manusia yang jahat.

Semuanya dikembalikan pada tuntunan Nabi Muhammad Saw. Jadi memperingati kelahiran Nabi Muhammad sekaligus juga untuk mencari pasangan hidup," kata Syaifudin.

Suku Osing sendiri merupakan satu dari tujuh etnis besar yang hidup rukun dan saling berdampingan di Banyuwangi.

Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi yang biasa disebut sebagai Wong Blambangan dan Laros (lare Osing).

Suku Osing menempati beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi bagian tengah dan bagian timur.

Mayoritas suku Osing berada di Kecamatan Songgon, Rogojampi, Blimbingsari, Singorujuh, Kabat, Licin, Giri, Glagah dan sebagiannya lagi berada di Kecamatan Banyuwangi, Kalipuro dan Sempu yang berbaur dengan komunitas suku lain, seperti Suku Jawa dan Madura.

Profesi utama masyarakat suku Osing adalah mayoritas petani, dengan sebagian kecil lainya adalah pedagang, nelayan, buruh dan pegawai di bidang formal seperti karyawan, guru dan pegawai pemerintah.

Tak hanya itu, suku Osing juga memiliki bahasa sendiri, yakni bahasa Osing.

Bahasa Osing diketahui terpengaruh dari bahasa Bali dan sedikit pengaruh bahasa Jawa Kuno.

Namun, kini tradisi gredoan agak sedikit berbeda karena perubahan zaman dan teknologi.

Perbedaan yang paling mencolok antara gredoan zaman dulu dan gredoan zaman sekarang, terletak pada alat dan tempat pelaksanaan nggridu (lelaki merayu si gadis).

Dahulu alat yang digunakan adalah sodho (lidi), sedangkan sekarang menggunakan ponsel.

Dulu tempat yang digunakan adalah gedhek, sekarang berganti menjadi bangunan batu.

“Penggunaan ponsel menjadi aspek yang tidak bisa dihindari. Namun mau modern atau klasik, gredoan telah banyak membantu masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya dalam menggapai pernikahan,” pungkas Hasnan Singodimayan.

Baca juga: Tradisi Ekstrem Suku Dani di Papua, Potong Jari-jemari Sebagai Wujud Kesedihan

Baca juga: Uniknya Hombo Batu, Tradisi Lompat Batu Setinggi 2 Meter di Kepulauan Nias

Baca juga: Sebelum Resmi Menikah Nikita Willy Jalani Tradisi Minangkabau Malam Bainai, Apa Artinya?

Baca juga: Tradisi Nanda dan 2 Warisan Budaya Tak Benda di Denpasar Bali

Baca juga: Bekintangon, Tradisi Pacaran Orang Rimba, Lelaki Wajib Mengabdi Pada Calon Mertua Selama 2.000 Hari

(TribunTravel.com/Ron)