Akses berita terupdate se-indonesia lewat aplikasi TRIBUNnews

Cerita WNI yang Tak Mau Lepas Kewarganegaraan Indonesia, Sudah Tinggal Puluhan Tahun di Australia

Penulis: Ratna Widyawati
Editor: Sinta Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sydney Opera House, Australia

"Untuk mengurus perjalanan ke negara lain kami tidak mengalami masalah, karena semua syarat yang diminta sudah disiapkan. Jadi walau paspornya Indonesia, tapi karena kami sudah berstatus permanent resident (penduduk tetap) Australia, ini juga banyak menolong," kata Tiur.

Alasan lain keluarga Tiur mempertahankan paspor Indonesia adalah karena mereka masih memiliki properti di Indonesia.

Meskipun, telah hampir lima dasawarsa tinggal di Australia, Tiur mengaku masih terus berkontribusi bagi Indonesia dengan caranya sendiri.

"Saya ingin membantu anak-anak di desa untuk pendidikan. Selama ini kami hanya dapat membantu sedikit di daerah yang berbeda di Nusa Tenggara Timur," kata Tiur.

Perempuan yang juga aktif dalam kegiatan masyarakat Indonesia di Sydney ini mengatakan ia sedang fokus mencari dana bagi pembangunan sekolah di lembah gunung di Kareka Nduku, Sumba Barat.

Kebanggaan diri sebagai orang Indonesia Pra Kromodimoeljo sudah 60 tahun tinggal di Australia, lebih lama daripada Tiur.

Pria yang bermukim di Melbourne ini tiba sebagai mahasiswa saat ia berusia 17 tahun pada 1960 untuk menempuh pendidikan di RMIT Melbourne, sampai akhirnya menikah dengan warga Australia Lorraine Rae pada 1965 dan menetap di Australia.

Sepanjang hidupnya di Australia, Tiur sempat berpikir untuk pindah kewarganegaraan, ketika Australia memberlakukan kebijakan White Australia Policy, di mana Australia hanya menerima imigran kulit putih dari Eropa pada 1970-an.

Namun, setelah mempertimbangkan latar belakang pengalaman diri dan keluarganya, dia memutuskan tetap menjadi WNI.

"Alasan utama adalah alasan psikologis, harga diri. Sampai sekarang saya tidak pernah mengalami masalah sebagai pemegang paspor Indonesia," kata Pra.

Ia malah merasa memiliki keuntungan sebagai orang Indonesia karena melihat perkembangan ekonomi Indonesia sebagai negara terbesar keempat di dunia.

Pra yang sebelumnya belajarMetalurgi di RMIT dan kemudian bekerja di Lab Metalurgi di salah satu perusahaan Australia Caterpillar mengatakan masih terus memiliki hubungan erat dengan Indonesia.

"Rata-rata selama 60 tahun ini, saya dan istri saya mengunjungi Indonesia setiap 2 tahun sekali," kata pria kelahiran 1942 ini.

Mereka juga pernah ke Indonesia pada 1968 untuk menjajaki kemungkinan menetap di sana, namun melihat situasi dalam negeri di awal Orde Baru saat itu, Pra akhirnya memutuskan untuk kembali dan menetap di Melbourne.

Usia 88 tahun

Halaman
1234