Akses berita terupdate se-indonesia lewat aplikasi TRIBUNnews

Pondok Boro Jadi Tempat Berteduh Puluhan Perantau di Semarang, Tarifnya Rp 3.000 Per Hari

Penulis: Ratna Widyawati
Editor: Sinta Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Penghuni Pondok Boro di Kota Semarang tengah bersantai setelah bekerja, Sabtu (10/10/2020).

Sejarah Pondok Boro

Taryono menceritakan sejarah singkat keberadaan Pondok Boro, yang dia ketahui.

Menurut cerita, Pondok Boro di daerah Sumeneban Nomor 144 itu merupakan bekas kandang kuda zaman kolonial Belanda.

Kemudian, pascakemerdekaan, gedung tersebut dimiliki warga China.

Pemilik merasa kasihan kepada para pekerja dari Kebumen yang ikut bekerja dengannya lantaran tak memiliki tempat tinggal layak.

Pengusaha ini lalu memerintahkan agar para pekerjanya tersebut tinggal di bekas kandang kuda itu.

"Kurang lebihnya seperti itu. Maka, tidak heran, mayoritas dihuni orang Kebumen yang turun-temurun tinggal di sini. Sekarang, pemilik Pondok Boro orang Jawa," katanya.

Pondok Boro saat ini memiliki 18 kamar dan tujuh ruangan besar yang disekat berupa dipan memanjang.

Total, ada 300 penghuni namun penghuni tetap 85 orang.

Sisanya, penghuni tidak tetap yang sering pulang pergi.

Setiap penghuni dibekali kartu yang menjadi catatan seberapa lama tinggal di tempat tersebut, minimal satu bulan.

"Mayoritas penghuni adalah manula, jumlahnya sekitar 70 orang. Yang muda-muda, umur 40 tahun ke bawah, ada 10 orang," kata Yono, panggilan akrabnya.

Dijelaskannya, dominasi penghuni Pondok Boro dari berbagai daerah.

Selain Kebumen, ada juga yang dari Sragen, Solo, dan daerah lain di Jawa Tengah.

Yono melanjutkan, puncak keramaian Pondok Boro berlangsung pada tahun 1990-an.

Halaman
123