Hewan-hewan tersebut sengaja tak dibunuh untuk dipelihara.
Lantas, pada masa itu memelihara hewan menjadi simbol status sosial dan lalu banyak orang kaya melakukannya.
Pada pertengahan abad ke-17, hutan dengan rawa-rawa itu dibeli oleh saudagar kaya bernama Anthonij Paviljoen.
Hutan rawa tersebut lantas dinamai Paviljoensveld dan dibiarkan apa adanya seperti sediakala.
Di akhir abad ke-17, anggota Dewan Hindia Cornelis Chastelein membeli Paviljoensveld dan mengubahnya menjadi persawahan.
Oleh sebab itu, kemudian dia mendatangkan banyak budak untuk menggarapnya, yang dibeli dari raja Bali.
Pada akhir abad ke-18, Paviljoensveld dibeli Gubernur Jenderal Gerardus van Overstraten dan dijadikan markas militer baru.
Namun, tak lama setelah itu Paviljoensveld jadi rebutan para petinggi VOC yang di masa tuanya penuh dengan korupsi.
Paviljoensveld akhirnya diambil paksa oleh Gubernur Jenderal HW Daendels dan dijadikan alun-alun serta tempat latihan militer.
Sejak saat itu zaman terus berubah, semakin banyak pula perubahan di Lapangan Banteng.
"Dahulu di tengah Lapangan Banteng ini ada patung singa yang lebih menyerupai anjing pudel menghadap ke arah Istana Daendels (sekarang Gedung AA Maramis di Kemenkeu). Sebenarnya ini sindiran orang Belanda terhadap Perancis yang kalah di pertempuran Waterloo," jelas Kartum Setiawan, Pendiri Komunitas Jelajah Budaya, dikutip dari Kompas.com, Minggu (5/7/2020).
Pada zaman penjajahan Jepang patung singa tersebut dihancurkan.
Kemudian pasca Indonesia Merdeka, Soekarno menempatkan Tugu Pembebasan Irian Barat.
Nama Lapangan Banteng sendiri, menurut Kartum, merujuk kepada lambang kekuatan dan nasionalisme, juga mengacu kepada hewan liar yang pernah hidup di kawasan ini, salah satunya banteng.
Dalam perjalanannya, Lapangan Banteng sempat difungsikan menjadi lapangan sepak bola oleh orang Eropa di Batavia, lapangan untuk parade militer, dan terminal bus.