Ia pun mencari solusi dengan menghubungi rekannya yang memiliki akses ke KBRI Quito.
Tak disangka, respon cepat ditunjukkan KBRI dengan cara mengontak Ezta.
"Pihak KBRI pun datang menemui saya dan memberikan bantuan berupa sembako, masker, hand sanitizer, dan lainnya. Mereka memastikan bahwa saya baik-baik saja," terangnya.
Lanjutnya, Ezta pun berdiskusi dengan pihak KBRI tentang kejelasan nasib dirinya di negara tersebut.
Hasil diskusi menyatakan dirinya enggan untuk pulang kembali ke Tanah Air di kala situasi masih mencekam.
Alasannya enggan pulang juga ditambah dengan pengumuman resmi dari Menteri Luar Negeri Retno Marsudi terkait penutupan perbatasan Indonesia mulai 16 Maret hingga 10 April.
Kegiatan selama berada di Ekuador pada masa lockdown
Berada di dua negara yang menerapkan kebijakan lockdown membuat pergerakan Ezta selalu diawasi pemerintah setempat.
Ia bercerita selama dua bulan berada di Quito, ibukota Ekuador, dirinya sangat jarang keluar rumah.
Pemerintah Ekuador menerapkan kebijakan orang hanya boleh keluar dengan alasan penting seperti ke supermarket dan rumah sakit untuk urusan medis.
Pemerintah juga menerapkan kebijakan pembatasan waktu beraktivitas di luar rumah yaitu pukul 05.00 hingga 14.00 waktu setempat.
Sementara itu, untuk waktu di atas pukul 14.00 hingga pukul 05.00 pagi, semua orang wajib berada di rumah.
"Jadi memang benar-benar teratur. Penduduknya di sana kan ada sekitar 3 juta orang, hitungannya kota padat penduduk, tapi mereka semua paham akan kondisi ini, jadi ada jaga jarak dan lainnya," jelas Ezta.
Selain itu, di tempat penginapan Ezta tinggal, protokol kesehatan Covid-19 juga diadakan.
Ia mencontohkan pengadaan genangan air berisi clorox atau pemutih untuk disinfektan alas kaki.