TRIBUNTRAVEL.COM - Gendjer-gendjer, nong kedokan pating keleler. Genjer-genjer, nong kedokan pating keleler. Ema'e thole teko-teko muputi genjer. Ema'e thole teko-teko muputi genjer. Oleh satenong mungkur sedot sing toleh-toleh. Gendjer-gendjer saiki wis digowo mulih.
Lagu "Gendjer-gendjer" yang dibawakan Bing Slamet dan Lilis Suryani sempat populer pada masa Orde Lama karena kerap diputar di radio, sekitar tahun 1960.
Lagu itu kemudian diidentikkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Nasibnya pun menjadi nelangsa, lagu ini seakan haram dinyanyikan pada masa Orde Baru.
TONTON JUGA
Jika berani, bisa-bisa dicap PKI dan bahkan dipenjara.
Nama "Genjer" pun jadi identik dengan lagu ini.
Padahal lagu ini terinspirasi dari tanaman genjer yang kerap diolah menjadi tumisan genjer.
Muhammad Arief sendiri menciptakan lagu tersebut untuk menggambarkan penderitaan masyarakat pada zaman penjajahan Jepang, yaitu tahun 1943.
Menurut Sinar Syamsi, anak Muhammad Arief kepada Kompas.com dalam artikel "Lagu Gendjer-Gendjer, Siapa Penciptanya?", mengatakan masyarakat kala itu terpaksa harus makan genjer yang juga dijadikan makanan bebek.
“Ibu saya sering masak daun genjer karena memang saat itu bahan makanan tidak ada,” kata Sinar Syamsi di Banyuwangi, Selasa (30/9/2014).
Rasa pahit
Sayur Genjer, dikenal memiliki rasa yang pahit.
Genjer sempat menjadi makanan idola di kalangan ‘wong cilik’ pada zaman penjajahan.
Menurut Heri Priyatmoko, seorang sejarawan yang juga akademisi Jurusan Sejarah, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mengatakan sejak dulu sayur genjer telah menjadi makanan keseharian masyarakat akar rumput (masyarakat kelas bawah).