TRIBUNTRAVEL.COM - Kota Salatiga, selain dikenal dengan kota tertoleran nomor dua di Indonesia juga tersohor sebagai sentra produsen tahu.
Diantara pabrik tahu tradisional yang sampai sekarang masih kokoh berdiri ialah milik Sunarto (53) terletak di Kelurahan Kalitaman, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga.
Kepada Tribunjateng.com, Rabu (15/5/2019) Sunarto mengatakan, dirinya merupakan generasi kedua sejak pabrik tahu itu didirikan Mbah Mul pada tahun 1968 yang tidak lain adalah pakde atau saudara tua dari orangtuanya.
Ia bercerita sejak berdiri hingga sekarang menginjak usia pabrik lebih dari setengah abad lamanya, dalam proses produksi tetap menggunakan cara-cara tradisional. Tahu hasil buatan pabrik berumur 51 tahun itupun tidak menggunakan bahan campuran apapun, kesemuanya hanya berbahan utama kedelai.
“Disini semua tradisional, ada penggunaan mesin penggilingan modern baru sekira lima tahun terakhir. Selebihnya sama kayak pertama kali berdiri, bahan utama kedelai tanpa campuran apapun,” terangnya kepada Tribunjateng.com, Rabu (15/5/2019)
Menurut Sunarto, dalam proses pembuatan tahu sejak dulu hingga saat ini tidak ada yang berbeda hampir semua peralatan yang dipakai masih tradisional. Untuk membuat tahu, terlebih dahulu kedelai direndam selama tiga jam. Setelah itu, kedelai direbus kemudian baru proses giling menggunakan mesin penggilingan modern.
Kedelai yang sudah digiling kemudian kembali direbus diatas tungku berdiameter sekira satu meteran menyerupai bangunan sumur dengan bahan bakar kayu dan sekam hingga sari kedelai menyembul keatas. Dalam sehari lanjutnya, pabrik tahu miliknya menghabiskan sekira 3,5 kwintal kedelai sekali produksi.
“Setelah itu sari kedelai disaring dengan kain belacu atau mori kasar. Lalu hasil sari saringan itu kembali direbus ke tungku lainnya dicampur air cuka supaya menggumpal kemudian diperas baru dicetak menggunakan cetakan yang terbuat dari papan tradisional,” katanya
Sehari-sehari dalam pembuatan tahu tersebut, Sunarto dibantu 4-5 orang pekerja. Mereka sejatinya bukan tenaga buruh melainkan lebih tepatnya produsen tahu untuk diri mereka masing-masing. Karenanya, Sunarto tidak pernah memberikan gaji bulanan tetapi tahu yang mereka hasilkan menjadi pengganti upah agar dijual kepasaran.
Sementara untuk keberlangsungan pabrik tahu, masing-masing pekerja itu membantu pembiayaan perawatan mesin penggilingan dan modal membeli oli pelumas serta solar secara sukarela. Sebelum memutuskan mengganti dengan alat penggilangan modern, proses penggilingan kedelai menggunakan batu berukuran besar yang dioperasikan tenaga manusia selama puluhan tahun.
“Dan agar kedelai menjadi hancur atau halus membutuhkan tenaga manusia yang lumayan besar untuk memutar penggilingan tersebut. Sedang sekarang jika dihitung dengan hasil produksi tidak sesuai, akhirnya kami ganti dengan mesin,” ujarnya
Pihaknya menjelaskan, dalam sebulan menghabiskan sekira 1,5 ton kedelai sebagai bahan utama produksi tahu. Setiap 15 kilogram kedelai atau sekali rebusan menghasilkan 18 kotak papan tahu, satu papan tahu dihargai Rp 28 ribu. Apabila dijual dalam bentuk potongan sudah digoreng, sepuluh potong dibanderol Rp 3 ribu atau perbiji tahu dua ratus rupiah. Ia mematok harga maksimal sepuluh biji mencapai Rp 2 ribu.
Selama ini kata dia, tahu hasil produksi dirinya bersama lima orang lainnya itu tidak hanya melayani pesanan dari Pulau Jawa saja melainkan hingga daerah luar seperti Jakarta, Banjarmasin, Sumatera, dan Lampung. Sedang ampas atau sampah tahu selama ini dimanfaatkan sendiri sebagai tambahan pakan ternak.
“Sisanya produksi kami apabila tidak ada pesanan, hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar-pasar tradisional di Kota Salatiga,” tuturnya
Pengamat Sejarah Kota Salatiga Eddy Supangkat menerangkan sejak tahun 1960 wilayah Kalitaman dan sekitarnya memang telah dikenal sebagai sentra atau produsen utama tahu di Kota Hati Beriman.
Baca tanpa iklan