Kopi hitam pun disuguhkan.
"Monggo," kata Wasingah, sambil menyerahkan segelas kopi.
Saya duduk di antara bilah-bilah tempat duduk bambu panjang.
Persis berada di depan warung. Menghadap ke air terjun.
Menikmati kopi di antara rindang pohon alam, begitu menyenangkan.
Terlebih suara gemericik air jatuh di atas bebatuan. Hadirkan nuansa ketenangan.
Jurang Pulosari, sore itu, begitu sepi. Hanya ada tiga wisatawan.
Wasingah melanjutkan cerita, awal pertama kali dibuka sebagai tempat wisata pada 2013 silam, Jurang Pulosari cukup ramai oleh pengunjung.
"Dari mana-mana banyak sekali, pada datang kesini. Dari luar negeri juga pada kesini," kata dia.
Pengunjung banyak, kala itu para pedagang pun banyak.
Namun, lambat laun, air terjun setinggi sekitar 7 meter itu mulai sepi pengunjung.
Para pedagang secara perlahan mulai meninggalkan.
"Tinggal saya, satu-satunya yang masih bertahan," ungkap dia.
Alasan mengapa air terjun Pulosari sepi pengunjung, Wasingah mengaku tidak tahu.
Namun ia menduga penyebabnya karena jalan sebagai akses wisata menuju curug susah dijangkau sehingga pengunjung merasa kesulitan.