Kegiatan ini dilakukan di balai agung atau pura desa di setiap desa pakraman, setelah kembali dari mekiyis.
3. Tawur Agung atau mecaru
Tawur memiliki arti dalam bahasa Jawa sama dengan saur, dalam bahasa Indonesia berarti melunasi utang.
Di setiap catus pata (perempatan) desa atau pemukiman mengandung lambang untuk menjaga keseimbangan.
Keseimbangan buana alit, buana agung, keseimbangan Dewa, manusia Bhuta, sekaligus merubah kekuatan bhuta menjadi dewa (nyomiang bhuta) yang diharapkan dapat memberi kedamaian, kesejahteraan dan kerahayuan jagat (bhuana agung bhuana alit).
Dilanjutkan pula dengan acara ngerupuk atau mebuu-buu di setiap rumah tangga, guna membersihkan lingkungan dari pengaruh bhutakala.
Belakangan acara ngerupuk disertai juga dengan ogoh-ogoh (simbol Bhutakala) sebagai kreativitas seni dan gelar budaya serta simbolisasi bhutakala yang akan disomyakan.
Namun terkadang sifat bhutanya masih tersisa pada orangnya.
4. Nyepi
Dilakukan dengan melaksanakan catur brata penyepian atau empat pantangan.
Empat pantangan itu yakni amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), amati geni (tidak menyalakan api), dan amati lelangunan (tidak bersenag-senang).
5. Ngembak Geni
Mulai dengan aktivitas baru yang didahului dengan mesima krama di lingkungan keluarga, warga terdekat (tetangga) dan dalam ruang yang lebih luas diadakan acara Dharma Santi seperti saat ini.
Yadnya dilaksanakan karena kita ingin mencapai kebenaran.
Dalam Yajur Weda XIX. 30 dinyatakan, Pratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksina. Daksina sradham apnoti, sraddhaya satyam apyate.
Baca tanpa iklan