Dia mencari laba-laba itu di hutan, dekat tempat tinggalnya.
Pepohonan hutan yang kini digantikan perkebunan jambu mete memaksa Voeun dan pedagang lainnya bergantung pada pemasok dari provinsi lain.
Harga tarantula melonjak hingga 1 dollar Amerika Serikat atau Rp 13.700 per ekor.
Harga itu meningkat hampir 10 kali lipat selama satu dekade terakhir.
Kendati dapat pasok ratusan tarantula setiap hari, pemasok juga mengalami ketakutan suatu hari bisnis penjualan tarantura akan langka.
"Ketika hutan besar lenyap, laba-laba tidak akan ada lagi," kata penjual lainnya, Lou Srey Sros.
Kelaparan Tarantula menjadi bagian dari diet masyarakat Kamboja selama beberapa generasi.
Di bawah kebrutalan Khmer Merah pada akhir 1970-an, rezim Maois memaksa jutaan warga Kamboja keluar dari kota.
Kerja paksa dan kelaparan menyebabkan kematian hampir seperempat penduduknya.
Kelaparan itu mendorong banyak warga mencari makanan apa saja yang bisa ditemukan, memakan hewan kecil, mulai dari tikus, kadal, hingga tarantula.
Sementara ketika Khmer Merah berakhir pada 1979, laba-laba tetap berada dalam menu makanan warga Kamboja.
Namun, Kamboja menjadi satu negara dengan tingkat penggundulan hutan tercepat di dunia.
Hutan banyak dibuka untuk perkebunan karet dan kayu.
Bukan hanya penebangan hutan, tingginya permintaan juga mendorong perburuan laba-laba semakin meningkat.
Kegilaan wisata telah membantu perdagangan tarantula yang menarik wisatawan asing di Skun untuk mencicipi makanan ringan itu.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tarantula Goreng Jadi Camilan Favorit di Kamboja"
Baca tanpa iklan